Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom INDEF Dradjad Hari Wibowo menilai Indonesia memiliki kelemahan dalam diplomasi atau strategi perdangangan terkait isu-isu lingkungan hidup (sustainability) dan hak asasi manusia (human right).
Dradjat menjelaskan perdagangan tidak murni hanya masalah harga dan kualitas, tetapi sudah masuk ke isu-isu yang non-ekonomi yang menjadi preferensi dari konsumen di berbagai negara.
“Ada satu hal yang tampaknya lemah kita tangani di dalam diplomasi atau strategi perdagangan kita ke pasar global, yaitu isu-isu terkait sustainability, terkait lingkungan hidup, dan human right” ujarnya dalam "Dialog Gerakan Ekspor Nasional: Target Ekspor Negara Sahabat" yang digelar Tribun Network, Selasa (6/4/2021).
Baca juga: Menteri Perdagangan Sebut Naiknya Harga Komoditas Jadi Pendorong Ekonomi Indonesia
Isu-isu tersebut menurut dia, tidak akan menjadi permasalahan di negara tujuan ekspor China.
Namun, isu-isu menjadi perhatian khusus saat Indonesia melakukan diversifikasi ekspor ke beberapa negara,di luar China, seperti Amerika Serikat dan Eropa.
Dia mengingatkan Indonesia pernah babak belur di tahun 2009-2011, ketika pulp and paper asal Indonesia terbentur isu sustainability.
Baca juga: AS akan Menyetop Perdagangan Diplomatik dengan Myanmar sampai Kudeta Dicabut
Alhasil produk ekspor Indonesia terkena boikot karena isu tersebut.
"Saat itu Indonesia menjadi pemain keenam di antara 10 pemain besar pulp and paper dunia, tapi kita sempat babak belur di 2009, 2010, 2011 karena terhajar oleh isu sustainability, sehingga kita diboikot," jelasnya.
“Kita diboikot oleh nama-nama besar mulai dari Mattel, produsen Barbie itu memboikot produk pulp and paper kita. Kita juga mengalami hal sama dengan sawit," lanjut dia.
Selain itu, industri furniture nasional yang dikelola UMKM juga mengalami hambatan yang sama terkait isu lingkungan hidup dan HAM.
Baca juga: AS akan Menyetop Perdagangan Diplomatik dengan Myanmar sampai Kudeta Dicabut
Bercermin pada hal itu, baru dibuat sertifikasi untuk melawan isu non-ekonomi yakni lingkungan hidup dan hak asasi manusia.
“Kemudian, saya diminta tolong bangun sertifikasi suistanable forest management atau pengelolaan hutan lestari. Kita baru mulai lakukan sertifikasi tahun 2015, berasosiasi dengan Jenewa. Karena sertifikasi ini bukan hanya nasional, tetapi bagian dari sertifikasi kehutanan terbesar di dunia," jelasnya.
Setelah sertifikasi, kata dia, terlihat dampak signifikan lonjakan ekspor produk Indonesia di dunia.
“Efeknya terhadap ekspor ini, data sebelum 2012 kita lihat turun terus ini karena diajar boikot. Kemudian 2016, sejalan dengan makin banyak yang dapat sertifikat dan sertifikat ini d akui dunia kemudian dia naik langsung melonjak. Lonjakan pertama itu tidak tanggung-tanggung setelah mendapat setifikat itu,” katanya.