Ia mencontohkan dengan pelaku teror bom Thamrin beberapa tahun lalu.
Ridlwan mengatakan, pelaku teror bom Thamrin awalnya merupakan residivis kasus pencurian kendaraan bermotor.
Namun, kata dia, pelaku tersebut bertemu dengan kelompok jihadis yang mencuci otaknya di penjara.
"Dia sebenarnya adalah residivis kasus pencurian motor, bukan kasus terorisme. Tapi begitu keluar dia jadi teroris. Naik level. Belajarnya di dalam penjara. Pembunuh, pemerkosa, ditakut-takutin. Kalian taubatnya tidak akan diterima kalau tidak baiat ke kita. Jadi di dalam penjara, dengan mengikuti itu, mereka mencari pertaubatan, pemurnian dosa, maka dia gabung teroris," kata Ridlwan.
Selain itu, ia juga menyoroti pengawasan terhadap napi teroris setelah keluar dari penjara.
Kebanyakan dari mereka, kata Ridlwan kembali berkegiatan yang cenderung beraroma radikal.
"Karena mereka menghadapi tuntutan hidup. Di satu sisi da anak istri yang harus dinafkahi, di sisi lain masyarakat menolak dia. Karena itu mereka kebingungan. Yang beruntung bisa survive. Tapi lebih banyak yang tidak beruntung. Negara seharusnya yang berjalan di situ, bukan institusi swasta," kata Ridlwan.