TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Survei Kelompok Kajian dan Diskusi Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) menemukan nama Presiden Joko Widodo masih masuk di jajaran teratas calon presiden 2024.
Padahal, Jokowi sudah tak memenuhi syarat karena telah menjabat selama dua periode.
Namun seperti dikemukakan Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo, nama Jokowi menempati peringkat kedua berada di bawah nama Prabowo Subianto.
Jokowi memiliki tingkat keterpilihan atau elektabilitas 18,5 persen.
”Kami tanya siapa nama tokoh yang menurut Anda layak menjadi presiden di 2024? Muncul beberapa nama di atas. Prabowo Subianto, lalu Joko Widodo juga masih muncul,” kata Kunto dalam jumpa pers daring, Senin (12/4/2021).
Prabowo menjadi nama teratas dengan elektabilitas 24,5 persen. Sementara itu di bawah Jokowi ada sejumlah nama seperti Ganjar Pranowo (16 persen), Ridwan Kamil (13,3 persen), dan Anies Baswedan (12,5 persen).
Baca juga: Survei Kedai Kopi: Masyarakat Nilai Prabowo Subianto Paling Layak Jadi Presiden 2024
Selain menempati posisi teratas calon presiden 2024, dalam survei terbaru KedaiKOPI itu Prabowo yang juga Ketua Umum Gerindra masuk dalam jajaran teratas elektabilitas di kalangan tokoh partai politik.
Baca juga: Survei IPO: Mayoritas Publik Puas Kinerja Sri Mulyani, Prabowo Jadi Menteri Paling Populer
Pria yang berpengalaman ikut tiga kali Pilpres sebagai calon itu berada di posisi kedua dengan elektabilitas 15,6 persen.
"Elektabilitas tokoh parpol, di sini Ketum Golkar Airlangga Hartarto 17,6 persen, lalu ada Prabowo Subianto, Ketum Gerindra 15,6 persen," ujar Kunto.
Di bawah Prabowo ada nama politikus Partai Gerindra Sandiaga Salahuddin Uno dengan 13,7 persen, kemudian Ketua DPP PDIP sekaligus Ketua DPR RI Puan Maharani dengan 9,6 persen.
Lalu, Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar dengan 9,6 persen, dan posisi keenam Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) 9,0 persen.
Terkait masuknya nama Jokowi di jajaran teratas calon presiden 2024, Kunto menjelaskan nama Jokowi masih muncul karena survei dilakukan dengan pertanyaan terbuka.
Responden dibebaskan menyebut nama siapapun dalam survei tersebut.
"Itu pertanyaan terbuka dan kita tidak mengarahkan. Justru ini menunjukkan bahayanya isu tiga periode yang ditangkap oleh warga dan disangka benar," tutur Kunto.