TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Vaksin Nusantara besutan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menuai sorotan publik.
Pasalnya vaksin ini tetap melaju uji klinis fase II meski belum mengantongi rekomendasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Menanggapi hal ini, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Akmal Taher menyinggung etika dokter yang terlibat dalam uji klinis vaksin Nusantara.
Sebab kata dia, setiap dokter terikat erat dengan aturan ethical clearance atau kelayakan etik.
Baca juga: Vaksin Nusantara, Ketum IDI: Jangan karena Niat Nasionalisme, Protokolnya Cincai Tidak Masalah
"Kalau kita mengacu etik, semua penelitian apalagi penelitian plan marketing seperti ini harus dapat izin BPOM. Jadi jelas ada pelanggaran peraturan," ucap Akmal dalam pernyataan virtualnya, Sabtu (17/4/2021).
"Secara etik yang bisa itu, juga yang melakukan penelitiannya. Karena secara kedokteran kita punya etik dan melakukan uji klinik itu kita mesti ikut pada aturan ethical clearance," sambungnya.
Menurut Ahli Bedah Urologi ini, pengujian klinis vaksin Nusantara jelas melanggar aturan karena mengabaikan rekomendasi dari BPOM.
Semestinya kata dia, uji klinis fase II tidak boleh dilakukan.
Mengingat vaksin tersebut nantinya akan diproduksi massal untuk masyarakat Indonesia.
"Sudah jelas bahaya sekali kalau yang beredar itu keamanannya tidak terjamin," tegas dia.
Baca juga: IDI Minta Semua Pihak Menaati BPOM terkait Penelitian Vaksin Nusantara
Sebagai informasi, BPOM menyatakan vaksin Nusantara tidak melewati tahap praklinis, sehingga belum dapat melanjutkan uji klinis tahap II.
Namun sejumlah anggota DPR RI tetap ngotot menjadi relawan uji klinis tahap II.
Padahal berdasarkan data studi vaksin Nusantara, tercatat 20 dari 28 subjek atau 71,4 persen relawan uji klinik fase I mengalami Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) dalam grade 1 dan 2.
Dokumen hasil pemeriksaan tim BPOM juga menunjukkan berbagai kejanggalan penelitian vaksin.