News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pengelolaan Hutan Lestari Terbukti Meningkatkan Ekspor Indonesia

Penulis: Rachmat Hidayat
Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ekonom Senior Indef Dradjad H Wibowo

Ini berarti semua HTI yang dibangun sebelum cut of date PEFC, yaitu 31 Desember 2010, sudah mendapat sertifikat.

Untuk industri pengolahannya, PEFC/IFCC telah memberikan sertifikat chain of custody (CoC) kepada 38 perusahaan, mulai dari pabrik-pabrik kertas milik grup APP dan April, hingga perusahaan seperti Blibli (untuk tas belanja) dan Gramedia (untuk sebuah lini produk).

IFCC adalah lembaga pengembang dan pemilik skema sertifikasi independen, yang merupakan anggota dari PEFC (the Programme for the Endorsement of Forest Certification) yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss.

PEFC ini merupakan skema sertifikasi hutan lestari terbesar di dunia. Saat ini sudah lebih dari 320 juta hektar hutan di dunia yang bersertifikat SFM dari PEFC, ditambah lebih dari 20 ribu perusahaan bersertifikat chain of custody (CoC) dari PEFC.

Menurut Dradjad, banyak sekali korporasi terbesar di dunia yang mewajibkan adanya sertifikat PEFC sebagai salah satu syarat mereka mau membeli produk olahan hasil hutan, mulai dari kayu bangunan, kertas hingga baju. Korporasi tersebut mulai dari yang terbesar di dunia seperti Apple, Johnson & Johnson, Walmart, Nestle, P&G, Samsung hingga LV, Zara dan banyak lagi.

Sebagaimana diketahui, selama 20 tahun lebih HTI dan pulp and papers Indonesia menjadi sasaran kampanye LSM global dan nasional yang menuduh mereka sebagai salah satu faktor utama deforestasi.
Akibatnya, korporasi dunia seperti Disney, Mattel, Xerox, Woolworths dan lain-lain sempat memboikot pulp and papers Indonesia, sehingga ekspornya menurun mencapai titik terendah sekitar 5 miliar dolar AS pada 2016.

Namun sejak 2017, ekspor tersebut terus naik menjadi 7,15 miliar dolar AS pada 2019, dan hanya turun 4,4 persen menjadi 6,84 miliar dolar AS (2020) saat pandemi.

Di sisi lain dari sisi SFM, baru pada Desember 2014 perusahaan HTI mulai berhasil mendapatkan sertifikat SFM dari IFCC/PEFC. Itu sebabnya pada tahun 2015 baru terdapat 0.7 juta hektar HTI yang bersertifikat SFM. Luas ini kemudian naik drastis menjadi 2,4 juta hektar (2016) dan 3,7 juta hektar (2017).

Yang menarik, setelah semakin banyak HTI yang berhasil mencapai SFM, dan semakin banyak pabrik bubur kertas dan kertas yang mendapatkan sertifikat, ternyata ekspor Indonesia naik kembali. Peningkatan ekspor tersebut juga terjadi bersamaan dengan penurunan laju deforestasi, yaitu tahun 2017-2020.

Fakta ini menunjukkan kuatnya komitmen dan kinerja dari pemerintah, pelaku usaha HTI dan pulp and papers, dan para stakeholders dalam mewujudkan SFM di Indonesia. Karena upaya mewujudkan SFM memerlukan investasi yang besar, transformasi budaya dan manajemen perusahaan yang signifikan, serta kerja keras dari banyak pihak, tidak lah berlebihan jika dikatakan pencapaian SFM, yang dibuktikan dengan sertifikat IFCC/PEFC, berkontribusi penting terhadap kinerja ekspor di atas.

Kinerja di atas tentu sangat menunjang kontribusi ekonomi dari HTI dan pulp and papers. HTI dewasa ini menyediakan lapangan kerja langsung 20-25 ribu orang dan 2 juta tidak langsung. Sementara pulp and papers menyerap 260 ribu tenaga kerja langsung dan 1,1 juta tidak langsung. Belum lagi kontribusinya terhadap penerimaan pajak pusat dan daerah, pembangunan daerah, dan pengembangan masyarakat sekitar hutan dan industri.

“Karena itu, saya mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Koperasi dan UKM, untuk semakin meningkatkan kinerja terkait dengan pengelolaan hutan lestari, maupun industri pengolahan dan perdagangan produk olahan hutan lestari oleh para pelaku usaha,” kata Dradjad.

“Contoh kongkretnya, pelaku mebel dan kerajinan perlu dibantu agar kayunya berasal dari hutan lestari sehingga mudah menembus pasar ekspor. Perhutanan sosial bisa didorong agar mendapatkan sertifikat SFM, sehingga produknya bernilai tambah semakin tinggi,” Dewan Pakar DPP PAN ini menegaskan kembali.

Ia berharap, korporasi besar Indonesia yang memakai produk olahan hasil hutan juga perlu sadar, mereka tidak bisa lagi lalai terhadap isu SFM. “Percaya saya, di masa depan Anda akan ditinggalkan pasar jika tidak peduli kelestarian. Trust me, sustainabily pays,” tegas Dradjad.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini