News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kapal Selam Nanggala Hilang Kontak

Pemerintah Didesak Bentuk Tim Audit Independen Alutsista Tenggelamnya KRI Nanggala 402

Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kapal selam KRI Nanggala 402

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak pemerintah membentuk tim audit independen untuk melakukan audit terhadap seluruh alutsista di Indonesia.

Koalisi tersebut terdiri dari Centra Initiative, Imparsial, Elsam, LBH Pers, ICW, LBHM, LBH Jakarta, KontraS, ICJR, PILNET Indonesia, HRWG, Walhi Eknas, PBHI, Amnesty Internasional Indonesia, Public Virtue, dan SETARA Institute.

Dalam keterangannya, Koalisi menilai peristiwa tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala 402 perlu dilihat dan dinilai dalam gambaran yang lebih besar tentang masalah modernisasi alutsista yang terjadi di Indonesia.

Koalisi mencatat peristiwa tersebut bukanlah yang pertama kali terjadi dengan berbagai faktor penyebab terjadinya kecelakaan mulai dari faktor human error, permasalahan mesin, faktor alam dan faktor lainnya.

Baca juga: Warga Galang Dana untuk Beli Kapal Selam Pengganti KRI Nanggala 402, Ini Daftar Harga Kapal Selam

Namun demikian, Koalisi menilai hal penting yang selalu luput diperhatikan dari setiap kecelakan alutsista adalah soal tata kelola perawatan dan pemeliharaan alutsista Indonesia.

Menurut Koalisi sangat mungkin masalah carut marutnya tata kelola alutsista di Indonesia dapat memperbesar risiko terjadinya berbagai kecelakaan.

Gelapnya tata kelola pengadaan, perawatan dan reparasi alutsista Indonesia, menurut Koalisi, pada akhirnya juga akan menjadikan prajurit TNI rentan menjadi korban, bahkan hingga meninggal dunia.

Kolaisi juga menilai bahwa pengadaan alutsista sebagai bagian dari upaya modernisasi dan penguatan pertahanan Indonesia memang sangat penting dan diperlukan.

Meski demikian, kata Koalisi, upaya tersebut harus dijalankan secara transparan dan akuntabel walaupun dalam praktiknya, beberapa kasus pengadaan alutsista selama ini bukan hanya menyimpang dari kebijakan pembangunan postur pertahanan, tetapi juga sarat dengan dugaan terjadinya korupsi.

Untuk itu mereka mendesak pemerintah mendorong peran lembaga-lembaga pengawas independen, seperti KPK untuk melakukan pengawasan dan menginvestigasi penggunaan anggaran pertahanan, atau lebih khususnya dalam pengadaan alutsista.

Koalisi menilai KPK bisa terlibat dalam pengawasan dan penyelidikan dugaan penyimpangan pengadaan alutsista dengan dasar asas lex specialis derogat lex generalis.

Menurut catatan Koalisi dalam sejumlah pengadaan, misalnya, beberapa alutsista yang dibeli berada di bawah standard dan kadangkala tidak sesuai dengan kebutuhan.

Pembelian alutsista bekas juga dinilai menjadi persoalan karena memiliki potensi bermasalah yang lebih besar, tidak hanya akan membebani anggaran untuk perawatan, tetapi juga akan berisiko terjadi kecelakaan yang mengancam keselamatan dan keamanan prajurit.

Untuk itu Koalisi menilai penggunaan alutsista bekas dan alutsista tua telah menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya beberapa kecelakaan.

Kondisi alutsista yang berada di bawah standard kesiapan, kata Koalisi, juga akan meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan.

Sementara itu, menurut Koalisi, proses perawatan atau retrovit yang dilakukan menjadi permasalahan tersendiri dalam kesiapan alutsista.

Misalnya, Koalisi mempertanyakan mengapa proses retrovit KRI Nanggala 402 dilakukan di Korea Selatan dan bukan di pabriknya di Jerman.

Koalisi mendesak agar pemerintah dan DPR mengevaluasi dan mengaudit semua proses kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan Korea Selatan mulai dari kapal selam, kapal perang, pesawat tempur KFX/ IFX (KF-21Boramae) dan lainnya.

Untuk itu Koalisi mendesak pemerintah membentuk tim audit independen untuk melakukan audit terhadap seluruh alutsista di Indonesia.

"Mendesak Presiden membentuk tim independen untuk melakukan audit independen terhadap seluruh alutsista di Indonesia, khususnya alutsista yang sudah tua dengan melibatkan akademisi dan masyarakat sipil," kata Koalisi dalam keterangan yang diberikan Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid pada Selasa (27/4/2021).

Selain itu, Koalisi juga mendesak pemerintah tidak menggunakan alutsista yang sudah tua dan sudah berumur 20 tahun ke atas sampai hasil audit selesai dilakukan.

Koalisi juga mendesak pemerintah mengevaluasi seluruh kerja sama pengadaan alutsista selama ini, baik yang terjadi pada masa periode pemerintahan sekarang atau periode pemerintahan sebelumnya.

Menurut catatan Koalisi dalam kenyataannya sejumlah pengadaan kerap diwarnai keterlibatan pihak ketiga.

Dalam beberapa kasus, kata Koalisi, keterlibatan broker kadangkala berimplikasi terhadap dugaan terjadinya mark-up (korupsi) di dalam pengadaan alutsista yang merugikan keuangan negara.

Untuk itu mereka mendesak pemerintah untuk menghapus pihak ketiga (broker) dalam pengaadaan alutsista, karena memiliki risiko masalah yang tinggi pada kesiapan alutsista.

Koalisi menilai sudah seharusnya pengadaan alutsista dilakukan dengan mekanisme government to government.

"Modernisasi alutsista perlu memperkuat alutsista dengan memprioritaskan pembelian alutsista baru dan bukan alutsista bekas," kata Koalisi.

Menurut Koalisi modernisasi alutista merupakan sebuah kebutuhan, namun penguatan alutsista itu harus berjalan secara transparan dan akuntabel.

Untuk tujuan itu, kata Koalisi maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah segera melakukan reformasi peradilan militer dengan merevisi UU 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

"Tanpa adanya reformasi peradilan militer, modernisasi alutsista akan selalu dibayang-bayangi dugaan praktik korupsi," kata Koalisi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini