Masterpiece itu patungnya macam-macam, saya punya karakter sendiri, tetap realis tapi ekspresif.
Suka duka selama membuat patung?
Sebenarnya saya menciptakan seni patung apalagi berkarya itu, sukanya tetap kita happy. Dukanya saya tidak akan puas. Kalau kita berkarya merasa puas berarti stucked. Tetap ada kekurangan terus.
Kalau berkarya patung saya itu kalau kita tekuni bener itu tidak ada habisnya, tidak ada puasnya, kita harus memiliki manajemen sendiri. Istilahnya emosional, terlalu idealis, ya itu tadi malah tidak jadi-jadi.
Makanya kita tetap kreatif, mencari ide-ide yang harus kita tuangkan. Kita tetap bersemangan, dengan adanya pandemi ini, teman kita ada yang susah, tidak ada penghargaan, senangnya bisa tenang, bisa fokus.
Kalau dari segi kepuasan, berkarya tidak ada puasnya. Dari tidak ada puasnya itu kita merasa senang. Lama-lama kok kita sudah tua ya. Kok waktunya kurang terus. Makanya seniman itu perlu manajemen. Manajemen waktu, emosi, wah macem-macem.
Kalau berkarya itu harus ada batasnya. Kalau itu masterpiece karya pribadi ya semau gue, kalau itu berkarya pesanan orang harus menciptakan monumen ya kita harus menghargai masukan-masukan.
Patung apa yang lebih sulit dibuat?
Patung yang paling susah. Sebenarnya tidak ada yang susah karena proses step by step, karena berkarya itu kan kelihatan.
Asal kita perlu konsultasi dan kalau kita berkarya itu kalau ada kesulitan kita harus berhenti. Kita renungkan. Mungkin 1,2 hari lagi kembali baru tahu kelemahan kita di mana, baru lanjut lagi.
Jangan dipaksakan kalau dipaksakan tidak jadi. Makanya kalau bikin yang besar-besar kita bikin tim. Sehingga ada masukan, kurangnya apa. Karena setiap seniman punya karakter sendiri, skilnya beda-beda ini penguasaan anatomi, karakter.
Saya yang merangkum semuanya. Kalau semuanya saya kerjain sendiri malah tidak jadi. (tribun network/denis destryawan)