Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dosen University of Sydney, Australia Thomas Power menilai ada enam tahapan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang semakin intensif di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hal itu disampaikan Thomas Power dalam webinar bertajuk 'Pengkerdilan KPK dan Membaca Arah Politik Antikorupsi di Indonesia', Senin (7/6/2021).
Pertama kata dia, menempatkan sebagian elite politik di luar jangkauan KPK.
Thomas Power membandingkan pemberantasan korupsi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dimana orang yang berada di lingkaran Ketua Umum Partai Demokrat itu masih bisa disentuh atau diselidiki dan disidik KPK.
“Sejak penetapan Jokowi sebagai presiden pada tahun 2014, menurut saya kita bisa melihat bahwa sebagian elite politik itu telah ditetapkan di luar jangkauan KPK," katanya.
Baca juga: Besok Pagi, Komnas HAM Agendakan Periksa Pimpinan KPK Terkait Tes Wawasan Kebangsaan
"Ini lebih terlihat jelas dibandingkan dengan misalnya masa Presiden SBY. Sebagai contoh pada zaman SBY, kita ingat bahwa besan Presiden SBY itu, Aulia Pohan itu masih bisa ditangkap KPK. Anggota-anggota keluarga presiden masih rentan terhadap Penyelidikan dan penyidikan dari KPK," lanjut dia.
Sejak 2015 atau setelah Jokowi menjadi presiden, mulai terjadi kegaduhan soal KPK.
“Sedangkan pada tahun 2015 dengan kegaduhan yang terjadi di awal masa kepresidenan Jokowi, kita melihat ada perubahan. Dan ini menjadi preseden buruk bagi KPK terutama ketika ingin menyelidiki orang-orang besar, orang-orang penting,” jelasnya.
Kedua, terjadi intimidasi yang semakin intensif terhadap penyidik KPK.
Baca juga: Pimpinan KPK Diharapkan Buka Pintu Dialog dengan Pimpinan Terdahulu
Intimidasi itu terlihat pada kasus kekerasan fisik, berupa penyiraman air keras terhadap seorang penyidik senior KPK, Novel Baswedan.
Ketiga, ada delegitimasi diskursif terhadap penyidik-penyidik KPK yang independen.
Hal itu melalui narasi faksi taliban yang ingin menguasai KPK.
“Kemudian menurut isu ini faksi Taliban tersebut adalah sekelompok orang radikal yang ingin menyerang anggota pemerintahan yang pluralis. Jadi ini mencampuri isu nasionalisme dan ideologi dengan penegakan hukum yang independen,” jelasnya.
“Jadi menurut beberapa orang yang mendukung pemerintah saat ini, kalau ada upaya dari penyidik independen KPK untuk menyelidiki kasus korupsi di pemerintah atau kasus korupsi yang melibatkan anggota pemerintah, mereka yang sangat setia atau pernah dekat dengan kekuasaan, ini bukan karena kasus korupsi semata tetapi justru karena orang itu adalah lawan secara ideologis dan lawan-lawan politik secara ideologi,” ucapnya.
Keempat, perwira aktif polisi menjadi pimpinan KPK.
Baca juga: Pengamat: Jika Pemerintah Serius Ingin Selamatkan KPK, Keluarkan Perppu
Dia menilai ini semata-mata sebagai upaya untuk menghancurkan independensi KPK.
Kelima, adanya Revisi Undang-Undang KPK.
“Yang secara singkat dengan pembentukan dewan pengawas dan dengan kebijakan-kebijakan lain seperti wewenang untuk memberhentikan penyidikan KPK. Ini lagi-lagi melemahkan independensi lembaga tersebut dan juga bagi saya merupakan upaya dari eksekutif untuk melemahkan KPK,” ucapnya.
Terakhir, implementasi Revisi UU KPK terutama dalam alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Selain itu Thomas mengatakan ada faktor struktural dan agential yang juga menjadi faktor atau unsur pelemahan KPK pada zaman Jokowi.
“Korupsi yang bersifat terlembaga, kemudian maraknya politisasi penegakan hukum di Indonesia, kemudian penilaian terhadap lembaga independen seperti KPK yang kalau ada lembaga independen, lembaga penegak hukum yang independen, ini adalah ancaman terhadap sistem yang dibangun,” jelasnya.
Sementara faktor agential, lanjut dia, terutama politisasi KPK pada tahun 2014 dan sikap Presiden terhadap agenda antikorupsi.
Menurut dia, terjadi perubahan pada tahun 2014, di mana KPK tiba-tiba dipandang sebagai lembaga politik atau lebih banyak dibahas dalam konteks kontestasi dan konstelasi politik.
“Pada tahun 2014 kita melihat ada proses politisasi di dalam KPK pertama karena Abraham Samad yang berusaha memanfaatkan jabatannya sebagai ketua KPK untuk terjun ke dunia politik. Waktu itu dia ingin menjadi Wakil Presiden dari Jokowi,” ujarnya.
“Kemudian setelah terpilih, Jokowi itu berusaha untuk membangun legitimasi politiknya melalui proses pemeriksaan terhadap calon menteri dari KPK. Da ini juga menimbulkan konflik di internal koalisi pemerintah saat itu. Jadi KPK itu dijadikan alat politik bagi Abraham Samad, orang dari internal dan bagi Jokowi sebagai presiden baru,” jelasnya.
Terakhir terkait sikap presiden terhadap agenda antikorupsi, dimana Jokowi lebih mengutamakan agenda pembangunan ketimbang antikorupsi.
“Pak Jokowi ini lebih mengutamakan pembangunan daripada agenda antikorupsi yang lain dan disamping itu aparat penegak hukum dilihat sebagai alat untuk mengendalikan isu atau kondisi situasi politik pada zaman sekarang,” ucapnya.