Namun, apabila pasal living law disahkan, maka akan menjadi tantangan besar bagi perempuan dalam menghadapi kriminalisasi tersebut.
Contoh lainnya, Lusia menyebutkan kasus pemerkosaan anak yang dilakukan oleh tokoh masyarakat di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Baca juga: Diminta Lanjutkan Pembahasan RKUHP, Yasonna: Saya Tidak Bisa Ambil Inisiatif Sendiri
Baca juga: Indonesia Darurat Corona, Komnas HAM Minta Rencana Pengesahaan RKUHP Ditunda
Dalam kasus tersebut, kepala desa memberi solusi dengan menikahkan korban dengan pelaku pemerkosaannya.
Padahal, keluarga korban ingin menempuh jalur hukum untuk memberi pelajaran kepada pelaku.
Lusia mengatakan, kasus-kasus seperti ini yang membuat pasal living law berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.
"Sebenarnya banyak sekali kasus-kasus seperti ini sulit ditangani karena kepala desa bersikukuh tidak mau ada pihak lain terlibat dalam penanganan kasus."
"Maka korban dan keluarganya pun sulit mendapatkan prlindungan hukum atas hak-haknya."
"Hukum yang ada seperti dianggap tiada dan kemudian dilemahkan dengan ketentuan di pasal 2 dalam RKUHP," ungkap Lusia.
Seperti diketahui, Pasal 2 ayat (1) RKUHP pada intinya menyatakan KUHP tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam ketentuan pidana.
Kemudian, Pasal 2 ayat (2) menyebut hukum yang hidup dalam masyarakat tetap berlaku di daerah hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini, sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, serta asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
(Tribunnews.com/Maliana)