News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Seleksi Kepegawaian di KPK

Komnas HAM Jawab Kritik Hendardi soal Pemanggilan Pimpinan KPK

Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Komisoner Komnas HAM RI M Choirul Anam dan Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap usai pemeriksaan terhadap pengurus inti Wadah Pegawai KPK di kantor Komnas HAM RI Jakarta pada Senin (31/5/2021).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM,  M Choirul Anam menanggapi pernyataan Ketua Setara Institute Hendardi terkait pemanggilan yang dilakukan Komnas HAM terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).

Anam mengatakan pihaknya menghormati semua pendapat tentang proses pemantauan dan penyelidikan Komnas HAM terhadap aduan pegawai KPK terkait Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

Ia pun mengajak semua pihak untuk mengembalikam kepada aturan hukum yang berlaku.

"Kita hormati semua pendapat tentang proses ini, dan kita kembalikan pada aturan hukum yang berlaku," kata Anam saat dihubungi Tribunnews.com pada Kamis (10/6/2021).

Anam mengatakan peristiwa terkait TWK pegawai KPK sederhana dan tidak sulit diselesaikan. 

Baca juga: Hendardi Sebut Pemanggilan Komnas HAM terhadap Pimpinan KPK dan BKN Tidak Tepat dan Mengada-ada

Ia mengatakan para pihak yang dimintai keterangan Komnas HAM hanya perlu memberi keterangan, klarifikasi, membantah, menambah, atau memberi keterangan lain. 

"Semakin banyak keterangan, bahkan ditambah dengan semakin lengkapnya dokumen. Semakin mudah selesai," kata Anam.

Sebelumnya Ketua Setara Institute Hendardi menanggapi soal pemanggilan yang dilakukan Komnas HAM terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).

Menurut Hendardi, pemanggilan itu bukan saja tidak tepat tetapi juga berkesan mengada-ada.

"Karena seperti hanya terpancing irama genderang yg ditabuh 51 pegawai KPK yg tidak lulus TWK (Jumlahnya kurang dari 5,4 persen pegawai KPK,red)," kata Hendardi dalam keterangannya kepada Tribunnews, Kamis (10/6/2021).

Lebih lanjut, Hendardi mengatakan, Test Wawasan Kebangsaan (TWK) yang diselenggarakan KPK melalui vendor BKN dan beberapa instansi terkait yg profesional adalah semata urusan administrasi negara yang masuk dalam lingkup hukum tata negara (HTN). 

Dan hal ini merupakan perintah UU dalam rangka alih tugas pegawai KPK menjadi ASN. 

"Jika ada penilaian miring atas hasil TWK ini mestinya diselesaikan melalui hukum administrasi negara, bukan wilayah hukum HAM, apalagi pidana," terang Hendardi.

Maka, pemanggilan Komnas HAM terhadap pimpinan KPK dan BKN ingin mengesankan seolah ada aspek pelanggaran HAM yang terjadi. 

"Semestinya Komnas HAM meneliti dan menjelaskan dahulu ruang lingkup dan materi dimana ada dugaan pelanggaran HAM yg terjadi sebelum memanggil pimpinan KPK dan BKN," ucap Hendardi.

Analoginya, jika misalkan ada mekanisme seleksi untuk pegawai Komnas HAM dan kemudian ada sebagian kecil yang tidak lulus apakah mereka bisa otomatis mengadu ke Komnas HAM dan langsung diterima dengan  mengkategorisasi sebagai pelanggaran HAM? 

Dalam setiap pengaduan ke Komnas HAM diperlukan mekanisme penyaringan masalah dan prioritas yang memang benar-benar memiliki aspek pelanggaran HAM, agar Komnas HAM tidak dapat dengan mudah digunakan sebagai alat siapapun dengan interes apapun. 

"Komnas HAM harus tetap dijaga dari mandat utamanya sesuai UU untuk mengutamakan menyelesaikan dan menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat (gross violation of Human Rights)," katanya.

Ia menambahkan, dalam persoalan alih status menjadi ASN dimanapun, sangat wajar jika Pemerintah menetapkan kriteria-kriteria tertentu sesuai amanat UU.  

Karena, untuk menjadi calon pegawai negeri pun memerlukan syarat-syarat tertentu termasuk melalui sejumlah test antara lain tentang kebangsaan. 

Menjadi ironi ketika di berbagai instansi negara lainnya untuk menjadi calon ASN maupun menapaki jenjang kepangkatan harus melewati berbagai seleksi termasuk TWK, namun ada segelintir pegawai KPK yang tidak lulus yang menuntut diistimewakan.

Dalam konteks seleksi ASN memang bisa saja pelanggaran terjadi misalnya seseorang tidak diluluskan (dicurangi/diskriminasi) atau karena  tidak dipenuhi hak-haknya ketika diberhentikan dari pekerjaannya (pelanggaran HAM). 

Tapi tentu harus dibuktikan dengan data yang valid.

"Sudah waktunya polemik dan manuver politik pihak yang tidak lulus TWK ini dihentikan karena tidak produktif dan tersedia mekanisme hukum PTUN untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Demikian pula seyogyanya lembaga-lembaga seperti Komnas HAM dll. Tidak mudah terjebak untuk terseret dalam kasus yang kendati cepat populer tapi bukan merupakan bagian mandatnya dan membuang-buang waktu," tutupnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini