TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) kembali melaporkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri terkait penggunaan helikopter mewah.
Kali ini, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) itu melaporkan Firli ke Dewan Pengawas KPK atas dugaan pelanggaran etik.
"Pada hari ini ICW melaporkan kembali Firli Bahuri atas dugaan pelanggaran kode etik," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana di Gedung ACLC KPK, Jakarta Selatan, Jumat (11/6/2021).
Baca juga: Laporan ICW Soal Dugaan Gratifikasi Firli Bahuri Dikembalikan Polri kepada Dewan Pengawas
Ini merupakan laporan keduanya kalinya oleh ICW atas dugaan pelanggaran etik Firli Bahuri.
Pada 2020, ICW juga melaporkan Firli ke dewas atas dugaan etik dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Sekarang, laporan yang dilayangkan ICW berkaitan dengan penggunaan helikopter yang dilakukan Firli Bahuri saat perjalanan Palembang-Baturaja.
"Ini terkait dengan pelaporan pidana yang sudah kami sampaikan ke Bareskrim Polri, namun kali ini bukan masalah pidananya, namun masalah etik yang diatur dalam peraturan Dewas Nomor 2 tahun 2020 terutama pasal 4 yang mengatur bahwa setiap insan KPK salah satunya pimpinan KPK harus bertindak jujur dalam berperilaku," jelas Kurnia.
Kurnia mengatakan, jenderal bintang tiga polisi itu tak bersikap jujur saat menyewa helikopter tersebut.
Firli tak melaporkannya kepada lembaga yang dan pimpinan lain saat penyewaan.
"Ketika penerimaan sesuatu yang kami anggap diskon dalam konteks penyewaan helikopter itu menjadi kewajiban bagi Firli Bahuri melaporkan ke KPK. Namun kami tidak melihat hal itu terjadi, maka dari itu kami melaporkan yang bersangkutan ke Dewas KPK," kata Kurnia.
Baca juga: Harun Masiku Buron 500 Hari, Kritik ICW hingga Tanggapan Polri
Kurnia memastikan, laporan yang dia layangkan kali ini berbeda dengan putusan etik Firli dalam penyewaan helikopter tersebut.
Firli diketahui sudah dijatuhkan sanksi etik ringan oleh Dewan Pengawas KPK dalam penyewaan helikopter tersebut.
Saat itu, dewas menyatakan Firli melanggar kode etik berupa gaya hidup mewah.
Kini, yang dilaporkan ICW berkaitan dengan ketidakjujuran Firli soal nilai penyewaan helikopter tersebut.
Menurut ICW, sejatinya Dewan Pengawas KPK menyelisik lebih dalam kwitansi penyewaan helikopter yang diberikan Firli.
"Harusnya kwitansi itu ditelusuri karena nilainya sangat janggal, kalo kita cermati lebih lanjut, 1 jam penyewaan helikopter yang didalilkan oleh Firli sebesar Rp7 juta, kami tidak melihat jumlahnya seperti itu, karena 4 jam sekitar Rp30 juta justru kami beranggapan jauh melampaui itu, karena ada selisih sekitar Rp140 juta yang tidak dilaporkan oleh ketua KPK tersebut," kata Kurnia.
Baca juga: KPK Rampas 16 Ribu Meter Tanah Milik Eks Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara
Dari informasi yang didapatkan ICW, harga penyewaan helikopter jenis Eurocopter (EC) kode PK-JTO yang ditumpangi Firli itu sekira Rp39 juta perjam.
Sementara Firli menyebut menyewa helikopter tersebut Rp7 juta perjam.
"Kami melampirkan beberapa temuan kami tekait dengan perbandingan harga penyewaan helikopter di beberapa perusahaan. Dan memang angka disampaikan Firli dalam persidangan Dewas tersebut yang tercantum dalam putusan Dewas sangat janggal dan apalagi helikopter yang digunakan adalah helikopter yang mewah," kata Kurnia.
Laporan sebelumnya
Sebelumnya, ICW telah lebih dulu melaporkan Firli ke Bareskrim Polri terkait dugaan gratifikasi penggunaan helikopter untuk perjalanan pribadi pada Juni 2020.
Peneliti ICW Wana Alamsyah mengatakan, Firli tidak menyampaikan fakta yang sebenarnya saat sidang etik yang diselenggarakan Dewan Pengawas KPK.
"Kami mendapatkan informasi bahwa harga sewa yang terkait dengan penyewaan helikopter itu tidak sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Firli ketika sidang etik dengan Dewas," kata Wana di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (3/6/2021).
Baca juga: ICW Desak Kapolri Tegur Kabareskrim Karena Tolak Usut Laporan Dugaan Gratifikasi Firli Bahuri
ICW menduga Firli mendapatkan harga diskon dari perusahaan penyewa helikopter, yaitu PT APU.
Wana menyatakan, berdasarkan informasi yang dihimpun ICW, tarif helikopter yang disewa Firli mencapai Rp39,1 juta per jam.
Sementara itu, menurut Wana, dalam sidang etik, Firli mengatakan harga sewa helikopter itu hanya Rp7.000.000 perjam tidak termasuk pajak.
Dengan pemakaian selama empat jam, Firli hanya membayar sekitar Rp30,8 juta.
"Kami total itu ada sebesar Rp172,3 juta yang harusnya dibayar oleh Firli terkait dengan penyewaan helikopter tersebut. Ketika kami selisihkan harga sewa barangnya, ada sekitar Rp141 juta yang diduga merupakan dugaan penerimaan gratifikasi atau diskon yang diterima Firli," jelasnya.
Ia mengatakan, tindakan yang dilakukan Firli memenuhi unsur-unsur Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Wana berpendapat, Dewas KPK semestinya menelusuri lebih lanjut informasi yang disampaikan Firli saat sidang etik.
Ia mengatakan, ada sembilan perusahaan penyedia helikopter lain yang sebetulnya juga bisa disewa Firli.
"Setidaknya ada sembilan perusahaan jasa helikopter yang sebenarnya jika kami lihat itu berpeluang untuk disewa. Tapi, mengapa PT APU ini yang menjadikan salah satu penyedia yang disewa oleh Firli Bahuri?" kata dia.
ICW pun melakukan penelusuran soal PT APU.
Wana mengatakan, salah satu komisaris PT APU ternyata sempat menjadi saksi dalam persidangan kasus dugaan korupsi Meikarta yang ditangani KPK pada 2018 saat Firli menjabat sebagai Deputi Penindakan.
"Apakah ada kaitannya, itu kami belum menindak lebih lanjut," ujar Wana.
Polri menolak
Mabes Polri kembalikan laporan ICW soal dugaan penerimaan gratifikasi Ketua KPK Firli Bahuri kepada Dewan Pengawas KPK.
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono menyampaikan pihak kepolisian tidak akan mengusut laporan dugaan gratifikasi yang melibatkan Firli.
Pasalnya, kata Rusdi, Firli Bahuri telah melalui proses sidang etik di Dewas KPK.
Menurutnya, pihaknya menghormati proses hukum yang dilakukan oleh internal KPK.
"Kita menghargai apa yang telah dilakukan di internal KPK. Tentunya itu kan proses yang dilakukan oleh Dewas. Proses yang cermat di internal KPK untuk masalah itu," kata Rusdi di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (8/6/2021).
Baca juga: Mulai Hari Ini Polri Gelar Operasi Pemberantasan Pungli dan Premanisme di Seluruh Indonesia
Rusdi menambahkan pihaknya juga memiliki pertimbangan tersendiri tak mengusut dugaan tindak pidana gratifikasi tersebut.
"Bareskrim punya pertimbangan terhadap aduan tersebut. Polri melihat bahwa hal tersebut pernah diselesaikan secara internal di KPK," ujar dia.