Laporan Wartawan Tribunnews Taufik Ismail
TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri, mengatakan bahwa kepemimpinan strategi tidak diukur dari keberhasilan di masa lalu. Melainkan juga harus berkorelasi dengan masa kini, sekaligus melekat tanggung jawab untuk masa depan.
Hal itu disampaikan Megawati saat menyampaikan orasi ilmiah pengukuhan gelar profesor kehormatan dengan status Guru Besar Tidak Tetap Ilmu Pertahanan bidang Kepemimpinan Strategik dari Universitas Pertahanan (Unhan) RI, Jumat (11/6/2021).
“Kepemimpinan Strategi tidak hanya diukur dari keberhasilan kepemimpinan di masa lalu, namun juga berkorelasi dengan saat ini, dan melekat dengan tanggung jawab pemimpin bagi masa depan,” kata Megawati.
“(Kepemimpinan Strategi) Kesemuanya demi tanggung jawab bagi masa depan anak cucu kita. Di sinilah keberhasilan kepemimpinan Strategik harus mampu menghadirkan keberhasilan yang linear di masa lalu, masa kini, dan keberhasilan di masa yang akan datang,” kata Megawati.
Baca juga: Megawati: Bung Karno Tidak Pernah Mengatakan Beliau Membuat Pancasila
Megawati lalu menjelaskan bahwa dalam perspektif kekinian, kepemimpinan Strategi setidaknya dihadapkan pada tiga perubahan besar yang mendisrupsi kehidupan manusia.
Pertama adalah perubahan pada tataran kosmik sebagai bauran kemajuan luar biasa ilmu fisika, biologi, matematika, dan kimia. Hal ini memunculkan teknologi baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya seperti rekayasa atomik.
Kedua, revolusi di bidang genetika, yang bisa mengubah keseluruhan landscape tentang kehidupan ke arah yang tidak bisa dibayangkan dampaknya, manakala perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut dijauhkan dari nilai kemanusiaan.
Ketiga adalah kemajuan di bidang teknologi realitas virtual. Di mana seseorang dapat menikmati pengembaraan ke seluruh pelosok dunia bahkan ke luar angkasa tanpa meninggalkan rumahnya sama sekali.
Megawati mengatakan ketiga perubahan di atas, hadir dalam realitas dunia yang masih diwarnai berbagai bentuk ketidakadilan akibat praktek “penjajahan gaya baru”, namun tetap pada esensi yang sama. Yakni perang hegemoni, perebutan sumber daya alam, dan perebutan pasar, diikuti daya rusak lingkungan yang semakin besar.
“Hubungan antar negara dalam perspektif geopolitik, juga menunjukkan pertarungan kepentingan yang sama. Bahkan kini semakin meluas. Atas nama perang hegemoni lingkungan dikorbankan. Perubahan teknologi dalam ketiga aspek tersebut justru memperparah eksploitasi terhadap alam,” katanya.
“Global Warming berdampak pada kenaikan muka air laut. Perubahan iklim secara ekstrim juga menciptakan bencana lingkungan yang sangat dahsyat. Di sinilah kepemimpinan Strategi harus memahami aspek geopolitik tersebut, guna memperjuangkan bumi sebagai rumah bersama seluruh umat manusia,” urainya lagi.
Megawati mengutip sejumlah pakar mengenai teori kepemimpinan Strategi. Seperti Stephen Gerras, dan pemikiran Olson dan Simmerson mengenai psikologi kognitif, system thinking, dan game theory. Pendapat ini penting karena Megawati ingin menjelaskan bagaimana kepemimpinan Strategik bekerja.
Yakni harus memiliki kemampuan memahami sistem berperilaku, memiliki cara pandang multidimensional yang jernih untuk bisa menafsirkan interaksi dalam kerumitan realitas; hingga kemampuan mengkalkulasi dengan cermat dengan setiap langkah dan pergerakan.
“Oleh karena itulah kepemimpinan bukan hanya disebut sebagai suatu ilmu, tetapi juga sebuah seni karena sifatnya yang selalu ada dalam dialektika bersama dengan aktor-aktor lain,” kata Megawati.
Dia juga mengutip pendapat John Adair, Hughes dan Beatty, untuk menjelaskan bagaimana karakteristik kepemimpinan Strategi yang dibutuhkan.
Menurut Megawati, kepemimpinan Strategi memerlukan sense of direction, berupa keyakinan atas arah tujuan visi yang akan dicapai. Ia juga memerlukan sense of discovery guna menemukan gagasan terobosan, membuka ruang kreatif, ruang daya cipta sebagai esensi peningkatan taraf kebudayaan masyarakat.
Kombinasi antara leadership, sense of direction, dan sense of discovery akan menentukan “jalan perubahan” yang sering kali diikuti langkah terobosan.
“Jalan perubahan ini adalah proses migrasi dari taraf sebelumnya, bergerak progresif dalam peningkatan kemajuan, dengan meminimalkan dampak, meminimalkan proses trial and error, atau proses berkemajuan yang berwatak progresif, berkelanjutan, namun bersifat sistemik sekaligus transformasional dan kontekstual,” tuturnya.
“Kristalisasi perubahan Strategi tersebut pada akhirnya diharapkan dapat menjadi kultur Strategik atau strategic culture yang menjadi profil identitas budaya dan karakter Bangsa.”
“Identitas budaya dan karakter bangsa ini adalah Pancasila. Sebab tidak ada bangsa besar yang maju dan kuat tanpa mengakar pada identitas dan budaya Bangsanya,” pungkas Megawati.