Ketika ditanya tanggapannya soal Soeharto, Liem menjawab ia memandang penguasa Orde Baru itu sebagai keluarga.
“Kami sangat dekat. Ia orang baik dan penuh perhatian, yang bersungguh-sungguh dalam membawa pembangunan bagi rakyatnya, “ kata Sudono Salim.
Posisi Liem menjadi kian surut dengan berakhirnya Orde Baru, Mei 1998. Ditanya bagaimana perasaannya ketika rumahnya menjadi sasaran amuk para perusuh pada Mei 1998, Liem mengatakan tidak menyimpan dendam terhadap para pelaku.
Ia juga tidak mau bangunan di kawasan Jl Gunung Sahari IV, Jakarta, yang rusak berat itu direnovasi agar menjadi saksi peristiwa menyedihkan tersebut.
Sejak terjadi kerusuhan Mei 1998, Liem Sioe Liong tinggal di Singapura. Selama berada di negeri pulau itu ia dua kali menggelar acara besar.
Pertama, ulang tahun ke-60 perkawinan dengan Ny Lie Kim Nio, pada 2004 yang dirayakan dengan pesta dua malam.
Kedua, ulangtahun ke-90 pada September 2005, yang juga dirayakan selama dua malam berturut-turut mengingat banyaknya tamu undangan. Pada kesempatan itu panggung dihias dengan corak Tiongkok imperial.
Liem masuk lokasi acara, sebuah aula besar Hotel Shangri-La, menaiki rickshaw dan disambut gemuruh tepuk tangan. Para tamu mendapat suvenir sebatang emas lima gram bertuliskan aksara Tiongkok ‘shou’ (panjang umur).
Di satu sisi emas batangan itu tertulis nama Liem Sioe Liong dalam huruf Tiongkok, sedang sisi lainnya terdapat logo korporasi salim.
Penyanyi favorit Liem dari Singapura, Kit Chan, tampil menyanyikan lagu-lagu hits mendiang Teresa Teng. Selanjutnya Liem membacakan sambutan ucapan terima kasih kepada para tamu atas persahabatan dan bantuan mereka. (*)
*Dikutip dari buku ‘Liem Sioe Liong dan Salim Group, Pilar Bisnis Soeharto’, karya Richard Borsuk dan Nancy Chng, Penerbit Buku Kompas, 2016.
Baca juga: Istri Konglomerat Liem Sioe Liong Ditembak Dua Kali tapi Nyawanya Bisa Diselamatkan