Menjadi sopir, kuli panggung, kenek tukang batu, pembantu rumah tangga, sampai pengamen jalanan.
Tekadnya menaklukkan Jakarta begitu bergelora. Pantang pulang sebelum jadi “orang”.
Karenanya, apa pun jenis pekerjaan disadarinya sebagai batu loncatan untuk menggapai mimpi yang telah ia gantungkan tinggi-tinggi di langit sana.
"Prinsipnya, jangan umbar kepedihan dan kepahitan hidupnya saat kamu sedang dan masih berjuang. Nanti saja setelah kamu melewati semua itu," ujarnya.
Biduk hidup mulai menuju jalur yang sesuai dengan suara hatinya, justru ketika ia menekuni dunia teater.
Sempat bergabung dengan beberapa grup teater seperti Adinda dan Belinda (Yose Marutha Effendi - Renny Dajoesman), akhirnya Egy tertambat di Teater Mandiri yang didedengkoti Putu Wijaya pada tahun 1983.
Egy menunjukkan totalitasnya di Teater Mandiri. Aneka pekerjaan produksi teater dan peran pernah ia lakoni.
Filosofi Teater Mandiri - "Bertolak dari yang ada", ia camkam sebagai pedoman dalam jiwa dan batinnya.
Sebagai “cantrik” yang baik, Egy senantiasa haus ilmu. Semua diskusi yang menyerempet lintas bidang, mulai dari budaya, sosial, sampai politik, dan nilai-nilai kehidupan ia ikuti di sanggar Teater Mandiri.
Putu Wijaya yang penulis produktif pun coba ditirunya. Egy belajar dan berlatih menulis. Menulis sastra, opini, hingga reportase jurnalistik.
Panggung Jurnalistik
Syahdan, Egy nyemplung di panggung non drama. Ia merintis karier sebagai penulis lepas di sejumlah suratkabar antara tahun 1987-1994.
Nasib penulis lepas, tak ubahnya nasib seorang pelukis. Ia berkarya, melempar ke pasar, dan berharap ada yang beli.
Begitu pula Egy. Ia memeras ide dan menuangkannya dengan larikan kalimat. Alinea-demi-alinea dialirkan menjadi sebuah narasi bernas.