Sebuah artikel, atau hasil reportase yang diharapkan mampu menaklukkan hati redaktur di media yang dituju.
Redaktur adalah algojo penentu nasib penulis lepas. Lolos dari mejanya, artinya lolos tayang di suratakabar keesokan harinya. Tidak lolos di meja redaktur, maka nasib tulisan Egy akan berakhir di keranjang sampah.
Egy merasakan bagaimana melewati hari dengan harap-harap cemas, ihwal kapan tulisannya dimuat. Bukan hanya rasa puas, tapi ada harapan “nafas”. Ya, nafas kehidupan.
Tiba akhirnya, ia diterima bekerja sebagai jurnalis lepas di Harian Pelita. Dinamika kerjanya semakin padat dan rutin.
Malang melintang sebagai jurnalis. Sebuah keniscayaan jika kemudian ia berpindah ke media lain, tepatnya ke tabloid Wanita Indonesia yang diprakarsai Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut, dengan jabatan terakhir Redaktur Pelaksana.
Prestasi atas kreativitasnya juga telah ia buktikan dengan memenangi lomba penulisan esai Diplomasi Kebudayaan Indonesia-Amerika dalam rangka KIAS tahun 1987 dan menerima honorarium sebesar Rp 75 ribu. Angka yang lumayan pada masanya.
Karya Buku
Selain jurnalis, ia juga seorang penulis.
Buku pertama yang ditulisnya adalah Srikandi: Sejumlah Wanita Indonesia (tahun 90-an), disusul buku-buku berikutnya; Top Eksekutif Indonesia; Top Pengusaha Indonesia.
Tahun 2013, Egy Massadiah menulis buku Bung Karno Ata Ende bersama Roso Daras.
Buku ini merupakan bagian dari produksi film Ketika Bung di Ende pada 2013, di mana Egy bertindak selaku produser.
Dua tahun terakhir (2019 – 2021) Egy bahkan terbilang sangat produktif menulis.
Lahirlah dua buku yang merupakan satu tarikan kisah: Secangkir Kopi di Bawah Pohon dan Sepiring Sukun di Pinggir Kali. Kedua buku itu di bawah tagline “Kiprah Doni Monardo Menjaga Alam” (2019-2020).
Buku lain adalah “Mempolong-Merenten: Rehab Rekon Pasca Gempa Lombok” (2019), Volunesia, Kisah & Wajah Relawan Covid-19 (2020), “Titik Nol Corona: Doni Monardo di Pusaran Wabah” (2021).