TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Langkah Partai Demokrat kubu Moeldoko mengajukan gugatan perdata dinilai salah sasaran. Seharusnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Salah sasaran Moeldoko itu akhirnya melahirkan politik belah bambu: satu pihak diangkat, pihak lain diinjak.
Partai Demokrat kubu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melambung, sedangkan marwah Presiden Joko Widodo menurun.
Ismail Hasani, doktor hukum tata negara dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah, Jakarta, berpendapat, mestinya sengketa menyangkut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) serta kepengurusan partai diselesaikan di PTUN, bukan di Pengadilan Negeri (PN) melalui gugatan perdata.
"Sebab objek sengketanya memang masuk ranah hukum tata usaha negara, bukan hukum perdata," ujar Ismail Hasani di Jakarta, Selasa (15/6/2021).
Sebelumnya, Partai Demokrat kubu Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang, Sumatera Utara, pimpinan Moeldoko mengajukan gugatan perdata ke PN Jakarta Pusat.
Gugatan perdata itu terkait AD/ART Partai Demokrat 2020 dan Akta Notaris yang memuat AD/ART 2020, serta kepengurusan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Baca juga: Demokrat Tembus Tiga Besar, Kubu AHY Singgung Prahara dengan Kubu Moeldoko
Gugatan tersebut teregister dengan nomor 01/TPD/04/2021 perihal Perselisihan Internal Partai Terkait dengan Kepengurusan dan Pelanggaran Hak Anggota Partai dalam Kongres V Partai Demokrat serta Pembatalan AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020. Gugatan diaftarkan pada 1 April 2021.
Gugatan diajukan kubu Moeldoko setelah kepengurusan Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang ditolak oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada 31 Maret 2021.
Ismail Hasani yang juga Direktur Eksekutif Setara Institute menegaskan gugatan Moeldoko tersebut salah sasaran.
"Itu objeknya adalah sengketa tata usaha negara, bukan perdata. Jadi akan tepat bila gugatan diajukan ke PTUN," tandas Ismail.
Dihubungi terpisah, analis politik dari Konsultan dan Survei Indonesia (KSI) Karyudi Sutajah Putra berpendapat, salah langkah Moeldoko yang menjabat Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) justru membuat blunder, baik bagi Moeldoko sendiri maupun Presiden Jokowi.
"Mau tak mau orang mengaitkan Moeldoko dengan Jokowi, karena Moeldoko Kepala KSP yang dianggap sebagai orang dekat Presiden," ujar Yudi, panggilan akrabnya, saat dihubungi per telepon, Selasa (15/6/2021).
Langkah blunder itu, kata Yudi, selain menjatuhkan kredibilitas Moeldoko juga menenggelamkan marwah Jokowi.
"Terbukti Jokowi menjadi sasaran empuk serangan publik akibat salah langkah Moeldoko," jelasnya.
Di sisi lain, kata Yudi, ada pihak yang diuntungkan akibat salah langkah Moeldoko itu, yakni Partai Demokrat kubu SBY.
"Terbukti elektabilitas Demokrat yang diketuai AHY dalam berbagai survei cenderung naik," paparnya.
Ditanya apakah Moeldoko main dua kaki, mengingat mantan Panglima TNI itu pernah dekat dengan SBY, bahkan yang mengangkat Moeldoko sebagai Panglima TNI adalah SBY semasa menjabat Presiden, Yudi tidak menampik.
"Bisa saja begitu. Tapi apa pun itu, Demokrat mendapat blessing in disguise (berkah di balik musibah)," tandasnya.