TRIBUNNEWS.COM - PANGLIMA TNI, Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, pensiun pada Desember 2021.
Siapa penggantinya merupakan hak prerogatif Presiden Joko Widodo untuk memilih satu di antara tiga kepala staf di TNI, yaitu KSAD, KSAU, atau KSAL.
Pada masa Orde Baru, Panglima TNI (ABRI) selalu berasal dari TNI AD dan saat itu tidak perlu minta persetujuan DPR.
Ada kisah unik menyangkut pemilihan Panglima TNI di kala itu, semisal ketika Jenderal M Andi Jusuf pada 1978 ditunjuk Presiden Soeharto menggantikan Jenderal TNI Maraden Panggabean.
Menurut catatan Salim Said, pengamat militer Indonesia, dalam buku ‘Dari Gestapu ke Reformasi, Serangkaian Kesaksian’, Penerbit Mizan, 2013, pada saat ditunjuk sebagai Panglima TNI, M Jusuf sudah 14 tahun dikaryakan di lembaga sipil.
Jabatan terakhir Jusuf di militer yaitu sebagai Pangdam XIV/Hasanuddin. Pada saat itu ia berhasil mengakhiri pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan.
Keberhasilan Jusuf dalam memadamkan pemberontakan itu menarik perhatian Presiden Soekarno (Bung Karno) sehingga ia kemudian dipromosikan sebagai Menteri Perindustrian Ringan pada 1965, dan menjabat hingga 14 tahun kemudian.
Nasib mujur dinikmati Jusuf lewat perannya dalam mendapatkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966 dari Bung Karno yang menjadi pintu masuk bagi Soeharto untuk meniti kekuasaan.
“Jangan-jangan Pak Jusuf sudah tidak tahu aturan baris berbaris,” bisik Salim Said kepada Letjen TNI Wijono Suyono, saat ia meliput pelantikan M Jusuf di Istana Negara, Jakarta, Maret 1978.
Selama 14 tahun Jusuf berada di luar organisasi militer, telah terjadi perubahan tata baris berbaris ABRI.
Di kemudian hari, dari Atmadji Sumarkidjo, wartawan dan penulis biografi M Jusuf, Salim Said mendapat informasi sang jenderal meluangkan waktu tiga hari untuk berlatih baris berbaris di ruang tamu rumahnya, sebelum pelantikan.
“Pengawas latihan adalah Elly Jusuf, istri M Jusuf,” tulis Salim Said.
M Jusuf kabarnya terkejut ketika ditunjuk Soeharto sebagai Penglima ABRI.
“Pak Jusuf tidak pernah bermimpi apalagi membayangkan dirinya menjadi jenderal berbintang empat dan memimpin ABRI,” ujar seorang keponakannya di Makassar kepada Salim Said setelah M Jusuf wafat.
Penunjukkan sosok pengganti M Jusuf yaitu Jenderal LB Moerdani, tidak kalah unik . Pasalnya Benny Moerdani, panggilan akrab LB Moerdani, tidak pernah menjadi komandan yang memimpin tentara lebih tinggi dari komandan batalyon.
Benny juga tidak pernah menduduki jabatan teritorial (Komandan Kodim, Komandam Korem, atau Pangdam) dan tidak pernah mengikuti pendidikan Sekolah Staf dan Komando (Sesko). Sebagian besar kariernya di pasukan tempur dan dunia intelijen.
Oleh karena itu penunjukan Benny Moerdani sebagai Panglima ABRI disebut tidak mengikuti rute yang lazim.
“Saya tidak pernah bermimpi duduk di kursi ini. Saya teken (tandatangan) mati sebagai intel,” ujar Benny kepada Salim Said, 14 November 1984.
Baca juga: Foto Terpidana Mati Usman dan Harun Terpajang Khusus di Rumah Mochtar Kusuma-atmadja
Jusuf cepat populer
Setelah menjabat Panglima ABRI, M Jusuf cepat menjadi populer. Meski semua kegiatan publiknya selalu atas nama Soeharto (selalu menyampaikan salam dari Soeharto kepada para prajurit yang didatangi), kunjungan dan perhatiannya, menarik perhatian masyarakat luas.
Ketika cerita buruk mengenai Soeharto dan keluarganya mulai menyebar ke masyarakat, fokus harapan berangsur tertuju kepada M Jusuf. Akibatnya Seharto dikabarkan mulai agak cemas.
Rupanya M Jusuf sadar akan kondisi itu. Namun ia tidak terlalu cemas sebab ia tahu persis terus menerus dibayangi Benny Moerdani sebagai Kepala Intelijen ABRI, dan Laksamana TNI Sudomo, Panglima Kopkamtib yang juga Wakil Panglima ABRI.
M Jusuf yakin Soeharto tahu dirinya tidak melakukan hal-hal yang mengancam kekuasaan Presiden.
Setiap menghadapi hal-hal yang sensitif, M Jusuf selalu memberi perintah kepada Benny Moerdani, “Kau laporkan ini kepada Pak Harto, Ben.”
Mengetahui Soeharto sangat percaya kepada Benny Moerdani pada waktu itu, konon M Jusuf pula yang menyarankan agar Benny saja yang diangkat sebagai penggantinya.
Ternyata Benny Moerdani yang kemudian ditunjuk sebagai pengganti M Jusuf dan menjabat sebagai Panglima ABRI selama 5 tahun.
Ada sebuah cerita menarik yang ditulis Atmadji Sukarmidjo dalam buku ‘Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit’ mengenai sebuah pertemuan di rumah Soeharto yang dihadiri sejumlah pejabat tinggi negara, termasuk M Jusuf.
Pada saat itu Jenderal TNI Amir Machmud, menteri Dalam Negeri, mengatakan, semakin populernya Jenderal M Jusuf selaku Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam)/Panglima ABRI, diduga ada ambisi tertentu yang perlu ditanyakan kepada yang bersangkutan.
Tiba-tiba M Jusuf menggebrak meja. “Bohong! Itu tidak benar semua! Saya ini diminta untuk menjadi Menhankam/Pangab karena perintah Bapak presiden. Saya ini orang Bugis. Jadi saya tidak tahu arti kata kemanunggalan yang bahasa Jawa itu. Tapi, saya laksanakan perintah itu sebaik-baiknya tanpa tujuan apa-apa.”
Melihat kondisi itu Soeharto sebagai tuan rumah membubarkan pertemuan yang hanya berlangsung beberapa menit itu. Kabarnya sejak itu hubungan M Jusuf-Soeharto jadi mendingin.
M Jusuf tidak pernah lagi menghadiri rapat-rapat kabinet di Binagraha (kantor Presiden Soeharto). Panglima ABRI M Jusuf selalu mengirim wakilnya, Laksamana TNI Sudomo. (*)
*Dikutip bari buku ‘Dari Gestapu ke Reformasi, Serangkaian Kesaksian’, Penerbit Mizan, 2013.
Baca juga: Terancam Jiwanya, Mochtar Kusuma-atmadja Dikawal Prajurit Seskoad hingga Bandara