Kemudian Safri membalas isi percakapan itu, "Oke bang".
Jaksa KPK pun kembali mempertegas apa benar isi percakapan ini.
"Benar itu?” tanya Jaksa kepada Safri.
"Betul," jawabnya.
Namun Safri kembali tak ingat perusahaan apa yang dipakai oleh Fahri Hamzah dalam mnegikuti izin budidaya lobster, ketika ditanya oleh jaksa.
"Berarti memang ada perintah dari Edhy? Saudara saksi masih ingat nama perusahaannya?” tanya jaksa.
"Saya tidak tahu, tapi saya hanya koordinasi dengan saudara Andreau," jawab Safri.
Salah satu tim penasihat hukum Edhy Prabowo, menyampaikan keberatannya atas pertanyaan yang terus dicecar oleh Jaksa kepada saksi Safri mengenai perusahaan yang dipakai kedua orang tersebut.
Tim PH pun menyampaikan keberatan kepada majelis hakim.
"Yang mulia, jika diperkenankan karena saksi ini beberapa kali ditanya nama PT-nya tidak pernah mengetahui. Saya pikir ini kan persoalan etika juga harus dijunjung, Yang Mulia," kata tim PH.
Mendengar permohonan tim hukum, majelis hakim pun memberikan penjelasan, bahwa apa yang disampaikan jaksa KPK maupun saksi ini berasal dari sebuah barang bukti dalam perkara tersebut.
"Itu kan bagian dari barang bukti. Dia kan menjawab apa adanya, tidak tahu. PT-nya apa, tidak tahu. Ya sudah itu. Itu kan terkait dengan barang bukti elektronik. UU ITE mengakui itu sebagai alat bukti. Lanjut," kata majelis hakim.
Dalam dakwaan, Edhy diduga menerima suap sekitar Rp24.625.587.250.000 dan 77 ribu dolar AS terkait perizinan ekspor benur tahun 2020.
Jaksa Ronald merinci penerimaan suap Edhy diterimanya melalui perantara yakni, Sekretaris Pribadinya Amiril Mukminin dan staf khususnya Safri.
Kemudian melalui staf pribadi Istri Edhy, Iis Rosita Dewi selaku Anggota DPR RI, Ainul Faqih; dan staf khusus Edhy, Andreau Misanta Pribadi.