"Akibatnya, pertumbuhan ekonomi kita minus 2,07 persen, yang menjadi capaian terburuk sejak krisis 1998."
"Sebagai catatan, 57 persen pengeluaran rumah tangga di Indonesia dihabiskan untuk pangan. Pada rumah tangga rawan pangan, porsinya bahkan lebih besar lagi, yaitu mencapai 69 persen," imbuh dia.
Sehingga, jika wacana pajak smebako ini tetap diterapkan, maka daya beli masyarakat akan semakin turut.
Lalu, harga pangan akan mengalami kenaikan, yang nantinya biasanya akan mengorbankan belanja masyarakat lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan.
Baca juga: Sri Mulyani Tegaskan PPN Sembako Hanya untuk Jenis Premium, Bukan yang Dijual di Pasar Tradisional
"Karena di sisi lain Pemerintah juga akan mengintensifkan pajak di sektor pendidikan dan kesehatan, maka secara umum kebijakan ini akan mendorong turunnya tingkat kesejahteraan masyarakat," ungkap dia.
Kedua, alasan soal moral, yaitu wacana pajak sembako yang muncul di tengah kebijakan pemerintah memberi keringanan pada pajak pembelian barang mewah, kendaraan roda empat.
"Ini logika kebijakan yang amoral."
"Kita tahu, relaksasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM-DTP) bagi kendaraan roda empat kini malah diperpanjang, dan bukan hanya berlaku bagi kendaraan 1.500 cc, tapi juga hingga yang 2.500 cc."
"Bayangkan, ada 29 tipe kendaraan yang kini pajaknya tengah didiskon Pemerintah, sementara pada saat bersamaan Pemerintah merencanakan akan memajaki 9 bahan pokok kebutuhan hidup rakyat."
"Menurut saya, Pemerintah tak paham skala prioritas, sehingga logika kebijakannya kacau," tutur dia.
Ketiga, alasan terkait hukum (legal), kata Fadli Zon, dari sejumlah UU tentang PPN yang sudah ada sebelumnya, sembako selalu dikecualikan.
"Dari sejak UU No. 8/1983 ttg Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, hingga diubah tiga kali menjadi UU No. 11/1994, UU No. 18/2000, dan UU No. 42/2009, bahan kebutuhan pokok selalu dikecualikan dari PPN," ucap Fadli Zon.
Bahkan, UU Cipta Kerja (Omnibus Law) ikut mempertahankan sembako tak dikenai PPN.
"Bagaimana ceritanya ketentuan Omnibus Law yang baru saja disahkan hendak diutak-atik lagi dalam pembahasan RUU KUP?" ujarnya.