Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kemerdekaan berekspresi merupakan salah satu hak fundamental yang diakui dalam sebuah negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
Sebagai negara hukum, Indonesia telah menjamin kebebasan berekspresi sejak awal kemerdekaan melalui UUD 1945.
Pada 2008 lalu, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE).
Dengan adanya undang-undang ini, diharapkan ruang digital dapat menjadi lebih bersih, sehat, beretika, dan produktif.
Baca juga: PKS Soroti SKB Pedoman UU ITE
Seiring berkembangnya dinamika masyarakat di dunia digital, beberapa pasal dalam UU ITE justru dianggap karet dan multitafsir. Hingga pada Februari 2021, pemerintah membentuk Tim Revisi UU ITE dan Tim Pedoman Tafsir, yang diharapkan dapat menjadi salah satu langkah yang dapat memperkuat demokrasi, dan melindungi kebebasan sipil dan pers serta menghindari penanganan yang terlalu eksesif.
Dalam rangka menjaga amanat UUD 1945 terkait kemerdekaan berekspresi, upaya peningkatan literasi digital juga terus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya berekspresi dengan bijak dan positif.
Untuk mendukung hal tersebut, Direktorat Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum, dan Keamanan, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Ditjen IKP), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menyelenggarakan Forum Literasi Hukum dan HAM Digital (Firtual) dengan tema Kebebasan Berekspresi di Era Digital lewat virtual, Rabu (23/6/2021).
Baca juga: Pedoman Implementasi UU ITE Harus Jadi Rujukan Penyidikan dan Penuntutan Perkara ITE
Beberapa narasumber yang hadir antara lain Josua Sitompul, S.H., M.M., PhD. (Koordinator Hukum dan Kerjasama, Kemkominfo), Achsanul Habib (Direktur HAM dan Kemanusiaan, Kementerian Luar Negeri), Kombespol Dani Kustoni, S.H., S.I.K., M.Hum., (Kasubdit III Dittipitsiber Bareskrim Polri), dan Septiaji Eko Nugroho (Ketua Presidium MAFINDO), serta dibuka oleh sambutan dari Drs. Bambang Gunawan, M.SI (Direktur Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum dan Keamanan, Kemkominfo).
Bambang Gunawan mengatakan, kondisi internet di Indonesia saat ini bagai pisau bermata dua bagi penggunanya, terutama generasi Y atau milenial yang menjadi pengguna mayoritas internet.
“Banyak informasi positif yang bisa diperoleh dari internet, tapi di sisi lain internet terutama media sosial dibanjiri informasi negatif, tak terkecuali hoaks tentang COVID-19, vaksin, ujaran kebencian, radikalisme, terorisme, dan ekstrimisme. Bahkan Microsoft menyebut warganet Indonesia memiliki tingkat digital civility yang rendah dibanding negara lain,” ujarnya.
Baca juga: Kemenko Polhukam Harap Aparat Baca Isi Pedoman Implementasi UU ITE Sebelum Lakukan Sosialisasi
Bambang juga menyampaikan apresiasinya kepada Polri melalui virtual police yang membuat ruang digital kondusif, Kementerian Luar Negeri yang aktif mempromosikan kebebasan berekspresi Indonesia ke luar negeri, dan MAFINDO turut membantu mengedukasi masyarakat untuk memerangi hoaks dan ujaran kebencian.
Josua Sitompul berpendapat, dalam era post-modernism atau post-truth ada anggapan bahwa tidak ada kebenaran mutlak, dan juga etika yang sifatnya subjektif.
“Adanya begitu banyak aspek yang mempengaruhi kebebasan berekspresi seseorang, maka semakin jelas dibutuhkan suatu aturan hukum yang bisa menjembatani agar orang tetap bisa bebas berekspresi, tetapi tidak melanggar kebebasan berekspresi orang lain,” ujar Josua.