TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, MH Said Abdullah mengatakan meningkatnya utang pemerintah tidak perlu direspon secara berlebihan apalagi panik.
Pasalnya, angka utang ini masih dalam posisi aman, jauh dari batas atas yang digariskan oleh Undang-Undang (UU) No 17 tahun 2003 yaitu sebesar 60% Produk Domestik Bruto (PDB).
“Saya kira pemerintah dimanapun tidak akan mau terbelit utang dan mewariskan utang kepada generasi berikutnya hingga menjadi beban yang tidak tertanggungkan,” ujar Said Abdullah di Jakarta, Senin (28/6/2021).
Baca juga: Kota Bogor Emergency Covid-19, Bima Arya Minta Pusat Keluarkan Kebijakan Lebih Ketat
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 1 tahun 2020, khususnya yang menyangkut utang pemerintah menyebutkan adanya kerentanan terhadap rasio utang terhadap penerimaan dan rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan.
Kerentanan itu dipandang oleh BPK telah melampaui batas terbaik yang direkomendasikan oleh lembaga internasional.
Namun ujar Said,Menteri Keuangan (Menkeu) telah membuat ketentuan mitigatif, melalui Keputusan Menteri Keuangan No 17/KMK.08/2020 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah Tahun 2020-2024.
Beleid inilah yang dirujuk oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan dalam menjalankan kebijakan utang pemerintah.
Karena itu kata Said, posisi utang Indonesia ini tidak perlu panik.
Baca juga: Kemenkes Cicil Utang Klaim Penanganan Pasien Covid RSUD Kota Bekasi Rp 24 Miliar
Said justru menilai, pernyataan BPK soal utang ini baik, tetapi kurang bijak dalam ikut serta mendorong situasi kondusif dan kerjasama antar lembaga disaat bangsa dan negara menghadap krisis kesehatan dan kontraksi ekonomi.
Sikap ini jauh dari kepatutan dan tidak menjadi teladan yang baik rakyat yang sedang sudah menghadapi pandemic.
“Pernyataan BPK ini bajik walau kurang bijak,” tegasnya.
Politisi Senior PDI Perjuangan ini berharap antar lembaga dan kementerian hendaknya tidak saling “menyerang” dimuka umum.
Sebab yang dibutuhkan dalam menanggulangi covid19 dan dampak sosial ekonominya yaitu semangat gotong royong.
Apalagi BPK adalah lembaga negara.
Dengan demikian, sebagai lembaga tinggi negara yang kedudukannya diatur kuat oleh UUD 1945 dan UU No 6 tahun 2006 maka segala tugas dan fungsi serta tindakannya harus mengacu pada ketentuan perundang-undangan dan produk turunannya.
“Bila ada pertimbangan lain diluar UU maka bukanlah yang utama dan bukan menjadi acuan BPK menyatakan pendapat untuk dijadikan landasan dalam menilai kinerja subyek pemeriksaan,” terangnya.
Baca juga: Jokowi Bersyukur Pemerintah Dapat Opini WTP dari BPK di Tengah Pandemi Covid-19
BPK jelasnya akan lebih bijak bila menemukan berbagai praktik internasional yang baik dalam tata kelola utang pemerintah.
“Lebih bijak bila BPK menjadikannya sebagai rekomendasi tambahan yang sifatnya saran kepada pemerintah. Sebab yang utama dari rekomendasi BPK yang bersifat mengikat adalah ketentuan perundang-undangan,” sarannya.
Ketua DPP PDI Perjuangan ini mengatakan profil utang pemerintah dengan mengacu data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Kemenkeu menunjukkan resiko valas yang menunjukkan tren penurunan.
Dari total utang pemerintah pada tahun 2019 sebesar Rp 4.778 triliun, sebesar Rp 1.808,9 triliun (37,8%) dalam bentuk valas.
Pada tahun 2020 porsi valas naik ke level Rp 2.037 triliun (33,5%) dari total utang Rp 6.074,6 triliun.
Kondisi ini ini masih dalam koridor Keputusan Menteri Keuangan No 17/KMK.08/2020 yang menetapkan porsi utang pemerintah dalam komposisi valas maksimal 41%.
Baca juga: Legislator Gerindra : Temuan BPK Perlu Ditindaklanjuti untuk Pembenahan Penyaluran BPUM
Demikian juga Rata-Rata Tertimbang Jatuh Tempo atau Average Time to Maturity (ATM) utang pemerintah menunjukkan tren penurunan.
Setidaknya pada rentang 2016-2020 ATM menunjukan angka dibawah 9 tahun.
Posisi ini menunjukkan indikator manajemen utang terkelola dengan baik.
ATM utang pemerintah pada tahun 2016 diangka 9.1, tahun 2017 diangka 8.7 tahun, 2018 diangka 8.4 tahun, 2019 diangka 8.5 tahun dan 2020 diangka 8.8 tahun.
Data ini menjelaskan manajemen penerbitan, penjualan, dan jatuh tempo utang pemerintah dijalankan dengan tata kelola yang baik.
Bahkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari utang, pemerintah telah menempuh langkah kreatif menggunakan berbagai strategi.
Berbagai skema proyek tidak harus bergantung pada APBN.
Baca juga: LaNyalla: DPD RI akan Tindak Lanjuti Laporan BPK
Pendirian Lembaga Pengelola Investasi (LPI) ditujukan untuk mengurangi ketergantungan pembiayaan program pemerintah dari sumber utang, termasuk juga skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dan swasta murni.
Skema lainnya menuntut kinerja BUMN baik agar deviden BUMN memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan negara.
Pemerintah juga telah mengajukan usulan revisi UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) kepada DPR.
Diharapkan ada kompatibilitas antara postur ekonomi nasional dengan sistem perpajakan nasional.
Dampaknya rasio pajak akan meningkat, kompatibel dengan peningkatan perekonomian nasional.
Langkah ini sebagai jalan untuk mengurangi gap dan ketertinggalan antara rasio pajak terhadap PDB dengan rasio utang terhadap PDB.
“Sehingga Debt to Income Ratio (DTI) kita makin kuat,” pungkasnya.