News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kinerja Jokowi

Aktivis Malari: Masa Orde Baru, Mahasiswa Masih Bisa Kritik Pemerintah Lewat Karikatur

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM UI) 1974 dan tokoh utama peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) pada 15 Januari 1974, Judilherry Justam.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM UI) 1974 dan tokoh utama peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) pada 15 Januari 1974, Judilherry Justam, angkat suara terkait kritik BEM UI yang menjuluki Presiden Joko Widodo (Jokowi) The King of Lip Service.

Aktivis peristiwa Malari tersebut menilai kritikan BEM UI terhadap Jokowi sebagai hal wajar dan bagian dari kebebasan berpendapat.

“Saya menilai kritikan BEM UI itu sebagai hal yang wajar-wajar saja. Bagian dari kebebasan menyatakan pendapat. Tidak perlu lah disikapi secara reaktif,” ujar Judilherry Justam dalam Diskusi Daring Narasi Institute bertajuk “Gerakan Mahasiswa dan Pengkhianatan Kaum Intelektual,” Jumat (2/7/2021).

Judilherry merupakan pimpinan dan penasehat sebuah kelompok relaswan pendukung Jokowi pada 2019 lalu.

Meskipun demikian ia tetap kritis terhadap pemerintahan Jokowi.

Baca juga: Kritik Jokowi The King of Lip Service, Ade Armando Singgung Riset BEM UI

“Saya termasuk dalam kelompok ini, saya mendukung Jokowi dalam Pilpres yang lalu bahkan pernah didaulat menjadi ketua salah satu relawan Jokowi. Tetapi saya merasa harus tetap kritis terhadap kebijakan pemerintah,” kata Judilherry.

“Yang baik, kita katakan baik. Yang tidak baik, tentu harus kritisi. Saya tidak menganut prinsip The King can do not wrong,” lanjut Judilherry.

Ia pun membandingkan kritik-kritik yang diajukan BEM UI dan mahasiswa saat era Orde Baru dengan masa Jokowi.

Pada masa Orde Baru yang jelas otoriter dan Represif, kata dia, ketika demonstrasi mahasiswa di Jakarta pada 1974 lalu, berbagai poster yang dibuat untuk mengkritik pemerintahan Soeharto.

Ada poster berisi 'Presiden, saudaranya Liem Sioe Liong (Sudono Salim-red)'.

Kemudian ada pula 'Presiden kerjanya main golf'.

Baca juga: Pimpinan KPK Tanggapi Kritik BEM UI: Kami Terbuka Terima Masukan Publik

Serta poster bertuliskan 'Ibu Tien Soeharto adalah madam ten percent" (maksudnyaa terima komisi 10 persen dari proyek pemerintah)'.

“Tidak ada masalah waktu itu. Tidak pernah rektor UI saat itu memanggil pimpinan BEM UI untuk mengklarifikasi itu,” katanya.

“Jelas poster-poster yang dibawa mahasiswa itu tidak ada atau sedikit saja bahasa ilmiahnya, seperti yang seringkali dikritik dan ditutut kepada BEM UI. Tidak ada masalah sama sekali,” ucapnya.

“Dan tidak ada juga yang menuduh kami menghina kepala negara. Baru kemudian ada pernyataan keras penguasa terhadap sejumlah pengurus BEM UI, terjadi, setelah timbulnya kerusuhan, pembakaran gedung-gedung pada 5 Januari 1974. Peristiwa Malari," lanjut dia.

Baca juga: Isu Rangkap Jabatan Rektor UI, Ombudsman Sebut Melanggar, Usul Presiden Terbitkan Perpres

Hal yang sama juga dialami pemimpin redaksi ‘Koran Salemba’ pada 1976.

Koran Salemba yang merupakan media yang dikelola kampus UI dan terbit pada 1976 itu tidak jarang memuat karikatur yang mengkritik pemerintah dan militer.

Meskipun demikian, Judilherry menegaskan, tidak sekalipun pemimpin redaksinya dipanggil pihak rektorat UI karena kritikannya kepada pemerintahan Soeharto.

"Bila pada masa Orba yang represif dan otoriter, mahasiswa masih bisa mengkritik pemerintah dalam bentuk karikatur, tentunya dalam era Reformasi sekarang, tidak perlu lagi pengekangan kebebasan berekspresi oleh mahasiswa," katanya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini