"Saat tsunami para korban patuh ke pemerintah, diminta A ya A, B ya B. Sekarang relatif-relatif saja. Tantangannya beda," lanjut dia.
Di lain hal, adanya pandemi Covid-19 juga membuat anak-anak kesulitan belajar tatap muka. Belajar di kelas ditiadakan untuk mengurangi risiko penularan Covid-19.
"Sekarang mereka tinggal di keluarga, gak bisa sekolah juga, tidak bebas keluar rumah karena risiko tertular," terangnya.
Menurut Sudirman, secara psikologis lebih berat sekarang. "Tingkat stresnya lebih tinggi."
Pandemi ini pemerintah mewajibkan seluruh masyarakat Indonesia menghindari penularan virus corona. Tameng utamanya, harus patuh protokol kesehatan juga berdiam di rumah atau mengurangi mobilisasi.
Baca juga: Rincian 15 Kota dan Kabupaten Baru di Luar Jawa-Bali yang Kena Perluasan PPKM Darurat
Setahun belakangan pemerintah juga sudah berupaya dalam menghadapi krisis pandemi. Namun demikian, semua jangan lengah dan bosan untuk meminimalisir penularan SARS Cov 2.
Sayangnya, membangun kepercayaan masyarakat agar segera pulih dari bencana juga tidak mudah. Sudirman mencontohkan, di tahun pertama kantor BRR sempat diserbu massa dan diduduki.
"Tapi kita jelaskan jadwal pembangunan kita sampaikan progress dan tantangan, apa adanya," tuturnya.
Butuh keterbukaan dalam menghadapi krisis. Masyarakat di Indonesia juga sedang menghadapi masalah yang sama saat ini.
"Kuncinya keterbukaan dan menyampaikan kondisi apa adanya. Mengajak masyarakat berbagi penderitaan demgan sesama," lanjutnya.
Begitu juga saat ini, ucap Sudirman, dalam menghadapi krisis pandemi, masyarakat harus dibuat percaya pada langkah pemerintah dalam mengatasi krisis.
"Caranya ada 4, kebijakan pemerintah harus seragam, dilaksanakan serempak, konsisten dan jadi kan ini gerakan bukan kewajiban," tutupnya.