Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Calon Hakim Agung yang saat ini menjabat sebagai Hakim Pengadilan Tinggi Negeri Jakarta, Artha Theresia Silalahi, dicecar pertanyaan terkait pelanggaran HAM Berat dalam sidang Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung 2021.
Artha dicecar sejumlah pertanyaan oleh Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani 2020-2024 Hikmahanto Juwana yang bertindak sebagai pewawancara tamu.
Sepanjang wawancara Artha terlihat kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Hikmahanto.
Awalnya Hikmahanto mengungkapkan sebuah pernyataan yang menyebutkan apabila pemerintah salah menangani masalah pandemi covid-19 dalam membuat kebijakan itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM Berat.
Hikmahanto kemudian meminta pandangan Artha terkait apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM Berat.
Artha kemudian mengulang kembali pertanyaan Hikmahanto.
"Terima kasih atas pertanyaannya Prof. Pernyataan apabila pemerintah salah menangani pandemi covid ini dianggap sebagai pelanggaran HAM," kata Artha dalam Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung Tahun 2021 yang disiarkan di kanal Youtube Komisi Yudisial pada Selasa (3/8/2021).
"Pelanggaran HAM Berat," kata Hikmahanto.
"Pelanggaran HAM," kata Artha.
"Berat," ulang Hikmahanto.
"Pelanggaran HAM Berat, baik," kata Artha.
Artha kemudian mulai mengemukakan pandangannya.
Menurutnya di dalam Undang-Undang mengenai HAM dan di dalam Undang-Undang Dasar, hak untuk memperoleh kesehatan itu merupakan hak asasi.
"Tetapi apabila hak itu tidak dipenuhi, apakah termasuk kejahatan HAM dalam arti HAM Berat khususnya dalam masa pandemi ini?" kata dia.
Ia pun melanjutkan, menurutnya kejahatan HAM Berat kalau tidak salah ada empat yakni kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan terhadap perang dan kejahatan agresi.
Artha kemudian berpendapat apabila ada kegagalan dalam penangangan pandemi ini tidak bisa dimasukan ke dalam pelanggaran HAM Berat.
"Karena apa? Harus dilihat juga bahwa pandemi ini, disebut pandemi, bukan epidemi, karena ini global. Meliputi seluruh dunia. Kemudian kegahalan seperti apa di dalam menangani pandemi ini? Jadi tidak serta merta sebuah kegagalan dalam menangani sebuah pandemi yang terjadi, memang ini lokal, tapi ini pemerintah yang dikhususkan menjadi sebuah kejahatan HAM berat. Saya pikir itu terlalu berlebihan," kata Artha.
Hikmahanto kemudian menanyakan, apa yang membedakan kebijakan yang masuk kategori pelanggaran HAM berat.
Di dalam pertanyannya, Hikmahanto juga mengkoreksi jawaban Artha, bahwa menurut Undang-Undang Pengadilan HAM di Indonesia, hanya ada dua yakni genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Artha kemudian meminta Hikmahanto mengulangi pertanyaannya.
"Jadi unsur terpenting apa untuk mengetahui ini masuk kualifikasi unsur pelanggaran HAM berat atau bukan? Unsur terpenting apa?" kata Hikmahanto.
Artha pun kemudian menjawab, bahwa seingatnya unsur terpenting dalam kejahatan HAM adalah jumlah korban yang harus luar biasa.
"Kalau misalnya jumlah bisa saja banyak, tapi kalau tidak ada niat jahat apa betul bisa dipidana?" tanya Hikmahanto.
"Tidak Prof, betul. Adanya niat yang disengaja untuk menyebabkan kegagalan itu," kata Artha.
Hikmahanto kemudian menjelaskan bahwa terkait niat jahat tersebut sangat penting.
"Mungkin masyarakat, tentu melalui putusan-putusan saudari nantinya kalau misalnya menjadi Hakim Agung, harus bisa memahami bahwa kalau kita bicara pidana tentu harus ada mens rea (sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana) atau actus reus (perbuatan yang melanggar undang-undang pidana) atau mens rea dan actus reus. Ini hal yang penting saya rasa," kata Hikmahanto.
Hikmahanto pun lanjut pertanyaannya.
Terkait dengan pelanggaran HAM Berat, ada peristiwa-peristiwa masa lalu yang hendak diajukan ke persidangan.
Masa lalu, lanjut dia, berarti mungkin belum ada aturan yang berkaitan dengan pelanggaran HAM Berat khususnya di Indonesia belum ada Undang-Undang nomor 26 tahun 2000.
Sementara di sisi lain, kata dia, ada pasal 1 dari KUHP terkait asas legalitas bahwa seseorang tidak dapat dipidana kecuali dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Ia pun menanyakan pandangan Artha mengenai masalah tersebut.
"Baik terima kasih atas pertanyaannya Prof. Jadi kita memang diikat oleh asas legalitas berdasarkan pasal 1 ayat 1 KUHP. Tidak ada perbuatan yang bisa dipidana kecuali atas kekuatan, ketentuan Undang-Undang sebelumnya. Tetapi dalam hal, pelanggaran HAM," kata dia yang langsung diingatkan oleh Hikmahanto.
"Berat," kata Hikmahanto.
"Pelanggaran HAM Berat, betul. Ini dikecualikan berdasarkan asas retroaktif," kata Artha.
Hikmahanto pun menanyakan apa alasan hal tersebut dikecualikan.
Menurut Artha, asas retroaktif merupakan kebalikan dari asas legalitas dalam pasal 1 ayat 1 KUHP.
Asas retroaktif tersebut, lanjut Artha, menentukan bahwa perbuatan yang dilakukan sebelum ada ketentuan yang mengaturnya itu bisa dipidana.
Walaupun hal tersebut merupakan pengecualian dari pasal 1 ayat 1 asas legalitas, dan Indonesja menganut asas legalitas, kata Artha, tetapi ada Putusan Mahkamah Konstitusi yang kalau ia tidak salah ingat menyatakan bahwa ketentuan pengadilan HAM tidak bertentangan dengan Undang-Undang 1945.
"Karena sesuai dengan anat Undang-Undang Dasar 1945 untuk menegakan kemanusiaan maka untuk kejahatan-kejahatan pelanggaran HAM berat itu perlu diatursecara khusus di dalam ketentuan pengadilan HAM," kata Artha.
Hikmahanto kemudian bertanya lagi.
"Kalau saya katakan bahwa pelanggaran HAM berat itu kan merupakan bagian dari kejahatan internasional, dan dalam konteks kejahatan internasional berlaku yurisdiksi universal, kira-kita siapa saja, kapan saja, di mana saja bisa mengadili, termasuk kapan saja, sehingga bisa diberlakukan secara retroaktif. Anda setuju?" tanya Hikmahanto.
Artha pun meminta Hikmahanto mengulangi pertanyaannya di bagian terakhir.
"Anda setuju kalau misalnya saya katakan bahwa pelanggaran HAM berat merupakan kejahatan internasional dimana berlaku yurisdiksi universal?" tanya Hikmahanto.
Artha pun menjawab setuju.
Menurutnya hal tersebut terbukti dengan praktik peradilan Hak Asasi Manusia yang kejahatannya dilakukan di masa lalu di tempat lain tetapi diadili di International Criminal Court (ICC).
Dengan demikian, kata dia, asas tersebut bisa diterima secara universal.
"Sementara kalau terorisme bukan kejahatan internasional ya? Karena Mahkamah Konstitusi tidak memberlakukannya secara retroaktif?" tanya Hikmahanto.
"Betul. Setuju Prof," kata Artha.
Hikmahanto pun menyudahi pertanyaannya untuk Artha.