TRIBUNNEWS.COM - Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, ikut menyoroti terkait keputusan pemerintah menghapus angka kematian dari indikator penanganan Covid-19.
Adapun, dihapuskannya angka kematian Covid-19 lantaran ditemukan adanya input data akumulasi selama beberapa minggu ke belakang.
Sehingga, hal itu menimbulkan distorsi atau bias dalam penilaian terhadap level PPKM di suatu daerah.
Menanggapi hal ini, Dicky menyebut penumpukkan laporan data memang menjadi hal yang sangat wajar terjadi.
Baca juga: Kemenkes Akui Data Kematian akibat Covid-19 dari Daerah Tidak Real Time
Bahkan, tidak hanya di Indonesia, banyak negara lain juga mengalami hal serupa.
"Memang itu kendala yang sangat wajar dialami, bahkan bukan hanya di Indonesia saja."
"Di negara maju, yang dilaporkan bisa dua kali lebih rendah dari data yang ada," kata Dicky, dikutip dari tayangan Youtube tvOne, Kamis (12/8/2021).
Sehingga, Dicky memprediksi setelah angka kematian Covid-19 diperbaiki, angka yang muncul bisa jauh lebih tinggi.
Terlebih, positivity rate di Indonesia tergolong tinggi dibandingkan standar dari WHO.
"Yang dilaporkan memang belum yang mendekati sebenarnya, kalau dibawah (dari angka yang dilaporkan saat ini, red) tentu tidak."
"Pasti diatasnya, karena positivity rate kita tinggi untuk kasus aktifnya," ujar Dicky.
Lantas, bagaimana tanggapan pemerintah dengan prediksi tersebut?
Baca juga: Jubir Luhut: Angka Kematian Covid akan Kembali jika Data Sudah Rapi, Ada Tim Khusus untuk Perbaiki
Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Jodi Mahardi mengaku tak masalah dengan prediksi tersebut.
Menurutnya, tujuan pemerintah memperbaiki data kematian Covid-19 adalah untuk mencari keakuratan data.