TRIBUNNEWS.COM - Suku Baduy adalah kelompok etnis yang hidup di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.
Suku ini dibagi menjadi dua yaitu Suku Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Dikutip melalui Indonesiakaya.com perbedaan mendasar kedua suku ini terlihat dari cara mereka melaksanakan aturan adat.
Suku Baduy Dalam masih memegang teguh adat dan menjalankan aturan dengan baik.
Baca juga: Mengenal Baju Adat Baduy Banten yang Dikenakan Jokowi saat Pidato Kenegaraan di Sidang Tahunan MPR
Baca juga: Alasan Jokowi Pilih Pakaian Adat Baduy Dalam Pidato Tahunan Kenegaraan
Sementara Suku Baduy Luar sudah terkontaminasi dengan budaya luar.
Seperti menggunakan barang elektronik dan sabun serta menerima tamu dari luar negeri dan memperbolehkan mereka menginap.
Perbedaan lain terlihat dari cara berpakaian mereka.
Dalam keseharian, Suku Baduy Dalam menggunakan baju berwarna putih yang melambangkan kesuician dan budaya yang tidak terpengaruh dari luar.
Sedangkan Suku Baduy Luar mengenakan pakaian serba hitam.
Suku Baduy Dalam mendiami tiga kampung yaitu Kampung Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo yang dipimpin oleh seorang tetua adat yang disebut Pu'un.
Pu'un dibantu oleh Jaro sebagai wakilnya dan bertugas menentukan masa tanam dan masa panen, juga menerapkan hukum adat serta mengobati penduduk yang sakit.
Sementara Suku Baduy Luar tinggal di 50 kampung yang berada di kawasan Pegunungan Kendeng.
Sejarah Nama Suku Baduy
Penyebutan Baduy berasal dari peneliti Belanda yang melihat kemiripan antara masyarakat di Kanekes dengan masyarakat Badowi di Arab.
Versi lain menyebutkan, nama Baduy diambil dari nama sungai yang terletak di bagian utara Desa Kanekes yaitu Sungai Cibaduy.
Mata Pencaharian Suku Baduy
Masyarakat Suku Baduy bermata pencaharian sebagai petani atau penggarap ladang.
Alam yang subur mempermudah suku ini dalam menghasilkan berbagai komiditas pangan.
Dalam praktik berladang dan bertani, Suku Badut juga tidak menggunakan sapi atau kerbau untuk mengolah lahan.
Suku Badut juga melarang keras anjing masuk ke kawasan tempat tinggal mereka dengan alasan menjaga kelestarian alam.
Masyarakat Suku Baduy juga gemar memelihara ayam.
Namun, mereka hanya akan menyembelih ayam pada hari-hari tertentu saja misalnya saat upacara adat ataupun hari pernikahan.
Tempat Tinggal Suku Baduy
Rumah Suku Baduy terbuat dari kayu dan bambu serta dibangun dengan batu kali sebagai pondasi.
Rumah Suku Baduy terdiri dari tiga ruangan dengan fungsi yang berbeda satu sama lain.
Bagian depan berfungsi sebagai tempat menerima tamu dan menenun untuk kaum perempuan.
Bagian tengah diperuntukkan untuk ruang keluarga dan tidur.
Sedangkan bagian belakang digunakan untuk tempat menyimpan hasil panen.
Semua ruangan dilapisi dengan alas yang dibuat dari anyaman bambu.
Untuk bagian atap menggunakan serat ijuk atau daun kelapa.
Rumah Suku Baduy dibuat saling berhadap-hadapan dan selalu menghadap utara atau selatan.
Berbeda dengan masyarakat modern, kekayaan Suku Baduy Dalam tidak dilihat dari bentuk dan ukuran rumah.
Seluruh masyarakat Suku Baduy Dalam memiliki rumah dengan bentuk dan ukuran yang sama.
Kekayaan mereka dilihat dari kepemilikan benda seperti tembikar.
Semakin banyak jumlah tembikar yang dimiliki, maka semakin tinggi derajat orang tersebut.
Tidak hanya peralatan elektronik, Suku Baduy juga tidak menggunakan perabotan rumah tangga seperti piring atau gelas yang terbuat dari logam atau kaca.
Mereka lebih memilih memanfaatkan bahan dari alam.
Misalnya, untuk gelas mereka memakai potongan bambu.
Tradisi Suku Baduy
Setiap perempuan Suku Baduy diwajibkan bisa menenun.
Kain tenun yang bertekstur lembut digunakan untuk bahan membuat pakaian sedangkan yang kasar untuk ikat kepala atau ikat pinggang.
Selain digunakan sendiri, kain tenun karya Suku Baduy juga diperjualbelikan sebagai oleh-oleh untuk para wisatawan yang berkunjung.
Selain kain, Suku Baduy juga membuat tas dari kulit pohon terep yang bernama koja atau jarog.
Tas ini digunakan untuk menyimpan segala macam kebutuhan yang diperlukan saat beraktivitas atau dalam perjalanan.
Masyarakat Suku Baduy juga masih menjunjung teguh budaya perjodohan.
Seorang gadis berusia 14 tahun akan dijodohkan dengan laki-laki yang juga berasal dari suku tersebut.
Selama perjodohan, orangtua laki-laki bebas memilih wanita yang akan dijadikan menantunya.
Orang Baduy juga dikenal sangat gemar berjalan kaki.
Mereka akan berjalan kaki kemanapun meski jarak yang ditempuh cukup jauh.
(Tribunnews.com/Nadine Saksita) (IndonesiaKaya.com/Riky)