TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa perkara kepemilikan senjata api ilegal, Mayor Jenderal TNI (Purn) Kivlan Zen telah dijatuhi tuntutan pidana 7 bulan penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Kendati begitu, Kivlan mengaku tak mau menyalahkan siapapun atas tuntutan tersebut.
Dirinya menyadari, proses hukum yang dirinya jalani saat ini merupakan konsekuensi politik usai adanya peristiwa kerusuhan 21-22 Mei 2019 lalu, pasca Pemilihan Presiden (Pilpres).
Hal itu diungkapkan Kivlan usai jalannya sidang tuntutan yang digelar pada Jumat (20/8/2021) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
"Tapi gak apa-apa, saya nggak menyalahkan siapapun. Keadaan memang situasi politik pada 21-22 mei yang kerusuhan dicari siapa yang punya senjata nembak, kebetulan yg tertanggap di satu-satukan sama saya," kata Kivlan kepada awak media.
Sebagai informasi, kerusuhan yang dimaksud Kivlan terjadi di Jalan MH Thamrin, dekat gedung Badan Pengawas Pemilu saat pengumuman hasil Pilpres 2019.
Atas tuntutan yang dijatuhkan jaksa, Kivlan menyatakan akan mengajukan nota pembelaan atau pleidoi.
Baca juga: Raih Banyak Penghargaan Jadi Pertimbangan Jaksa Tuntut Kivlan Zen 7 Bulan Penjara
Bahkan dirinya bersikeras merasa tidak bersalah dalam kasus kepemilikan senjata api ilegal ini seperti yang dituntut jaksa.
"Saya akan menyatakan pembelaan, dan saya nyatakan tidak bersalah dan bisa saya buktikan (dalam pleidoi)," kata Kivlan.
Meski demikian, Jenderal Bintang Dua itu, mengaku tidak merasa dendam kepada siapapun, termasuk kepada polisi dan jaksa.
"Saya nggak dendam sama siapapun, nggak dendam sama Jaksa, nggak dendam sama polisi, Ini kondisional politik, saya menerima keadaan ini," ucapnya.
Diketahui, Kivlan Zen merupakan terdakwa dalam perkara kepemilikan senjata api (Senpi) dan peluru tajam ilegal yang didapati dari sejumlah orang tanpa dilengkapi surat izin.
Dalam tuntutannya jaksa menyatakan Kivlan Zen terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana turut serta tanpa hak menerima, menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dan menyimpan, menyembunyikan, mempergunakan senjata api, amunisi, sesuatu bahan peledak sebagaimana dakwaan ke-1.
"Sebagaimana diatur Pasal 1 ayat 1UU Darurat No. 12 tahun 1951 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dalam dakwaan alternatif kesatu," kata Jaksa Andri Saputra dalam tuntutannya dari ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.