Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengancam akan melaporkan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha kepada pihak kepolisian jika tak merevisi pernyataan soal dugaan keterlibatan dalam pusaran pemburu rente obat ivermectin hingga ekspor beras.
Kuasa Hukum KSP Moeldoko, Otto Hasibuan menyampaikan Egi dan ICW dinilai tidak bisa menunjukkan bukti soal keterlibatan kliennya dalam pusaran pemburu rente obat ivermectin hingga ekspor beras.
Menurutnya, pihaknya telah mengirimkan surat kepada Egi Primayogha untuk segera meminta maaf dan merevisi pernyataanya tersebut.
Hal ini merupakan teguran terakhir yang bakal diberikan kepada Egi.
Baca juga: Moeldoko Bilang Polemik TWK KPK Tak Perlu ke Jokowi, ICW: Pernyataan Keliru
Ia menyampaikan pihaknya memberikan waktu paling lambat 5 hari agar Egi untuk dapat mentaati permintaan kliennya tersebut.
"Jadi tadi saya kirim surat kepada si Egi. Surat teguran yang ketiga dan yang terakhir. Dan secara tegas kami menyatakan, kami berikan waktu 5x24 jam. Jadi 5 hari supaya dia longgar. Kami mundurkan lagi. 5x24 jam kita berikan waktu kepada mereka untuk mencabut pernyataannya dan meminta maaf terhadap Pak Moeldoko," kata Otto dalam jumpa pers daring, Jumat (20/8/2021).
Otto menyebut pernyataan Egi telah memenuhi unsur pencemaran nama baik terhadap Moeldoko.
Pasalnya dalam beberapa kesempatan, pihak ICW mengakui ada beberapa misinformasi data yang disampaikan oleh Egi.
"Jadi dengan tegas kami sudah dapat bukti kuat bahwa memang apa yang mereka lakukan itu baik dari siaran persnya maupun dari konferensi persnya kami menemukan mens rea yaitu niat dari mereka untuk melakukan pencemaran nama baik kepada Pak Moeldoko. Terbukti lagi mereka mengakui adanya misinformasi," ujar dia.
Atas dasar itu, Otto menambahkan pihaknya akan segera menempuh langkah hukum jika tidak segera meminta maaf.
Ia mengingatkan bahwa Indonesia merupakan negara hukum.
"Apabila tidak dia cabut dan minta maaf saya menyatakan dengan tegas Pak Moeldoko. Kami sebagai kuasa hukum akan melaporkan hal ini kepada pihak kepolisian. Ini kesimpulan kami. Jadi perkara ini tidak akan berhenti. Karena apa? kita adalah negara hukum. Hukum yang tertinggi," ungkap dia.
Lebih lanjut, ia meminta Egi dan ICW mentaati aturan hukum.
Sebaliknya, mereka tidak boleh berlindung di balik alasan demokrasi.
"Saya dinyatakan tidak boleh seseorang itu adalah berlindung dibalik alasan demokrasi, berlindung di dalam alasan pengawasan kepada pemerintah tapi mencemarkan dan memfitnah orang lain. Itu tidak boleh. Jadi kita harus dijadikan sebagai hukum sebagai panglima di negara kita ini," bebernya.
"Maka kalau nanti sampai 5 hari lagi, Saudara Egi dan kawan kawan tidak mencabut pernyataan tersebut secara tegas dan tidak minta maaf kepada Pak Moelodoko, maka kami dengan Pak Moeldoko akan melaporkan ini kepada yang berwajib dan kepada kepolisian," tutupnya.
Sebelumnya diberitakan, Tim kuasa hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) menanggapi somasi yang dilayangkan oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Ada dua poin yang dipermasalahkan oleh Moeldoko dalam kajian ICW, yakni tudingan pemburuan rente dan ekpor beras antara Himpunan Kerukunan Tani Indonesia dengan PT Noorpay Nusantara Perkasa.
Salah satu tim kuasa hukum ICW Muhammad Isnur memastikan pihaknya telah membalas somasi dari kubu Moeldoko.
"Berangkat dari poin permasalahan itu, ICW sudah membalas somasi Moeldoko pada hari Selasa, 3 Agustus 2021," ujar Isnur melalui keterangan tertulis, Sabtu (7/8/2021).
"Jadi, jelas keliru kuasa hukum Moeldoko jika kemudian mengatakan belum menerima surat balasan dari ICW," tambah Isnur.
Isnur mengatakan dalam surat itu, pihaknya menegaskan bahwa ICW menemukan sejumlah indikasi keterlibatan Moeldoko dalam distribusi obat Ivermectin yang berpotensi terjadinya konflik kepentingan.
Menurut Isnur, hal ini didasarkan atas relasi bisnis antara anak Moeldoko dengan Sofia Koswara (Wakil Presiden PT Harsen Laboratories, produsen Ivermectin) dalam PT Noorpay Nusantara Perkasa.
Tidak hanya itu, Isnur mengungkapkan beberapa pemberitaan juga menyebutkan bahwa Moeldoko sempat meminta kepada Sofia agar izin edar Ivermectin segera diproses.
Padahal, pada waktu yang sama, uji klinis atas obat ivermectin belum diselesaikan.
"Temuan ICW juga merujuk pada informasi yang menyebutkan adanya distribusi Ivermectin oleh HKTI berkerjasama dengan PT Harsen Laboratories kepada sejumlah masyarakat di Jawa Tengah," kata Isnur.
Dirinya mengungkapkan tak lama berselang, BPOM menegur PT Harsen Laboratories karena telah menyalahi aturan produksi dan peredaran obat.
Tindakan itu dilanjutkan dengan permintaan maaf dari produsen Ivermectin tersebut.
"Maka dari itu, wajar jika kemudian masyarakat mendesak adanya klarifikasi dari Moeldoko atas tindakannya terkait obat Ivermectin," tutur Isnur.
Kemudian yang kedua, dalam surat balasan somasi, ICW sudah meluruskan bahwa telah terjadi misinformasi.
Hal ini terkait ekspor beras antara HKTI dengan PT Noorpay Nusantara Perkasa.
Merujuk pada siaran pers yang tertuang di website ICW, disebutkan bahwa HKTI bekerjasama dengan PT Noorpay Nusantara Perkasa dalam hal mengirimkan kader HKTI ke Thailand guna mengikuti pelatihan tentang Nature Farming dan Teknologi Effective Microorganism.
"Jadi, tidak tepat juga jika misinformasi itu langsung dikatakan sebagai pencemaran nama baik atau fitnah," tutur Isnur.
"Sebab, mens rea bukan mengarah pada tindakan sebagaimana dituduhkan Moeldoko dan itu dapat dibuktikan dengan siaran pers yang telah ICW unggah di website ICW," tambah Isnur.
Selain itu, Isnur menjelaskan posisi ICW dalam konteks pengawasan roda pemerintahan.
Dirinya mengatakan pemantauan terhadap kinerja pejabat publik dalam bingkai penelitian merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat yang dijamin dalam konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan banyak kesepakatan internasional.
Menurutnya kuasa hukum Moeldoko Otto Hasibuan keliru dalam memandang posisi ICW.
Dirinya mengungkapkan kajian seperti ini bukan kali pertama dilakukan oleh ICW. Sejak ICW berdiri, penelitian, khususnya terkait korupsi politik, memang menjadi mandat berdirinya lembaga ini.
Salah satu metode yang sering gunakan adalah pemetaan relasi politik antara pejabat publik dengan pebisnis. Atas dasar pemetaan itu nantinya ditemukan konflik kepentingan yang biasanya berujung pada praktik korupsi.
Isnur mengatakan setiap ICW mengeluarkan kajian, salah satu desakannya juga menyasar kepada pejabat publik agar melakukan klarifikasi.
Kajian polemik Ivermectin sebagaimana yang dirisaukan oleh Moeldoko juga bukan produk satu-satunya ICW selama masa pandemi Covid-19.
"Poin ini sekaligus membantah tudingan sejumlah pihak yang menyebutkan adanya motif politik di balik kajian polemik Ivermectin," tutur Isnur.