Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti senior Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay mengatakan kondisi pesta demokrasi yang selalu dihadapkan pada biaya mahal dan proses panjang perlu dicarikan solusi.
Pasalnya kata Hadar, biaya mahal pesta demokrasi tak jarang membuat peserta pemilu tak punya cukup saksi untuk setiap TPS. Di mana sejauh ini, jumlah TPS di Indonesia sudah lebih dari 800 ribu titik.
"Kemudian selalu saja kita dengar biaya mahal tak sanggup punya saksi. Partai besar saja pun mereka tak punya saksi cukup untuk setiap TPS yang sudah lebih dari 800 ribu sekarang, itu jumlah besar," kata Hadar dalam diskusi daring 'Bukan e-Voting, Tetapi e-Recap', Sabtu (28/8/2021).
Sedangkan persoalan rekapitulasi manual berjenjang yang selama ini diterapkan KPU, membutuhkan waktu lama untuk rampung. Bahkan perlu waktu 1 bulan agar seluruh tahapan rekapitulasi suara benar - benar selesai.
Baca juga: Potensi Presiden 3 Periode bila Pandemi Naik Lagi di 2024, PKB: Semua Ditutup Termasuk TPS
Padahal menurut mantan Komisioner KPU RI ini, makin cepat pesta demokrasi mendapat hasil, maka semakin baik. Sebab cepatnya proses rekap suara bisa memperkecil ruang yang mungkin dimanfaatkan pihak tertentu merusak pemilu.
Baca juga: Sengketa Pilkada Indragiri Hulu, MK Perintahkan KPU Gelar PSU di TPS 03 Desa Ringin
"Umumnya di pemilu itu semakin cepat mendapatkan hasil, maka semakin baik. Karena tidak ada ruang yang bisa dimanfaatkan atau terjadi hal yang bisa merusak pemilu," ucapnya.
Dengan kondisi ini, Hadar menilai penggunaan e-rekap bisa jadi solusinya. Selain meringankan biaya pemilu, e-rekap juga bisa mempercepat proses rekapitulasi suara.
"Jadi dengan situasi seperti ini, saya kira lebih ekonomis kalau kita menggunakan e-rekap dibanding e-counting. Karena nanti mesin atau alat harus ada di setiap TPS, dan biasanya teknologi e-counting akan lebih mahal daripada teknologi e-rekap," pungkas Hadar