Tak hanya itu, kategori bentuk kekerasan seksual mengerucut menjadi 4 bentuk saja dari yang awalnya ditulis 9 bentuk.
Semula pada naskah RUU PKS, masyarakat sipil merumuskan 9 bentuk kekerasan seksual yakni Pelecehan Seksual, Perkosaan, Pemaksaan Perkawinan, Pemaksaan Kontrasepsi, Pemaksaan Pelacuran, Pemaksaan Aborsi, Penyiksaan Seksual, Perbudakan Seksual, dan Eksploitasi Seksual.
Terkini, dalam draf terbaru hanya tercantum Pelecehan Seksual (fisik dan nonfisik), Pemaksaan Kontrasepsi, Pemaksaan Hubungan Seksual, dan Eksploitasi Seksual.
Baca juga: DPR Instansi Pemerintah yang Harta Kekayaan Anggotanya Tertinggi Dibandingkan Instansi Lain
Sabari mengungkap penghapusan lima bentuk kekerasan seksual dalam draf RUU TPKS lantaran sudah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Rancangan KUHP (RKUHP) Empat bentuk lainnya disebut tak diatur oleh KUHP dan RKUHP.
"Jadi substansinya hanya empat. Jika dalam RUU yang lama ada sembilan jenis, setelah kami menyisir dengan melihatnya dalam KUHP dan RKUHP kami telah mensortir sehingga menjadi empat. Ini yang tidak ada irisannya atau tidak diatur dalam KUHP atau RKUHP jadi tinggal empat jenis," kata Sabari.
Diksi atau kata 'perkosaan' juga dihilangkan dalam draf teranyar. RUU TPKS lebih memilih memakai kata 'pemaksaan hubungan selsual' dibandingkan dengan 'perkosaan'. Hal tersebut sesuai yang tercantum dalam draf RUU TPKS Pasal 4 yang berbunyi;setiap orang yang melakukan perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual, dengan memasukkan alat kelaminnya, bagian tubuhnya, atau benda ke alat kelamin, anus, mulut, atau bagian tubuh orang lain, dipidana karena pemaksaan hubungan seksual dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)."
Dicermati
Anggota Komisi VIII DPR RI Lisda Hendrajoni mengatakan perubahan yang terjadi dalam draf RUU PKS yang kini disebut RUU TPKS haruslah dicermati dengan seksama.
Diharapkan perubahan itu tidak menyimpang dari tujuan awal RUU dibuat dan justru memperkuat sekaligus menyempurnakannya.
"Perubahan bentuk kekerasan seksual dari sembilan menjadi empat perlu dicermati secara seksama dengan memperhatikan beragam bentuk kekerasan seksual yang terjadi belakangan ini, termasuk kekerasan seksual secara daring,” ujar Lisda.
Baca juga: KPK: 70 Persen Pejabat Bertambah Kaya, 95 Persen LHKPN Pejabat Tak Akurat
Legislator Partai NasDem itu menyebut substansi RUU PKS sedari awal yakni perlindungan, pencegahan dan juga rehabilitasi terhadap korban kekerasan seksual tak boleh hilang.
Lisda menilai RUU ini harus segera disahkan, apalagi publik sudah menunggunya karena banyak predator di luar sana yang meresahkan.
"Segala perubahan yang terjadi harus didiskusikan secara komprehensif, dan melibatkan pakar. Saya berharap segala perubahan ini tidak menjadi alasan untuk menunda pengesahan RUU PKS ini, karena sudah ditunggu oleh publik. RUU PKS harus menjadi momok yang menakutkan bagi para predator," ucapnya.
Anggota Baleg DPR RI Fraksi PKB Neng Eem Marhamah juga sepakat bahwa RUU ini harus segera diselesaikan pembahasannya pada masa sidang kali ini.