TRIBUNNEWS.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan tegas menyatakan penolakannya terhadap wacana jabatan presiden tiga periode dan perpanjangan jabatan presiden.
Hal tersebut disampaikan melalui Juru Bicaranya, Fadjroel Rachman, yang dikutip dari tayangan video di kanal YouTube Kompas TV, Minggu (12/9/2021).
Fadjroel menegaskan bahwa Jokowi tidak memiliki niat bahkan tidak berminat untuk menjadi presiden untuk tiga periode.
Pasalnya menurut Jokowi konstitusi telah mengamanahkan padanya jabatan presiden selama dua periode.
Baca juga: Istana Tegaskan Jokowi Tolak Wacana Presiden 3 Periode dan Perpanjangan Jabatan
Untuk itu ia merasa perlu untuk menjaga konstitusi tersebut.
Tak hanya menolak wacana jabatan presiden tiga periode, Jokowi juga menolak adanya perpanjangan jabatan presiden.
"'Saya tidak ada niat, saya tidak berminat juga untuk menjadi presiden tiga periode. Konstitusi mengamanahkan dua periode, itu yang harus kita jaga bersama.'"
"Ini adalah sikap politik Presiden Jokowi untuk menolak wacana presiden tiga periode maupun memperpanjang masa jabatan presiden," kata Fadjroel dalam tayangan video di kanal YouTube Kompas TV, Minggu (12/9/2021).
Baca juga: Soal Isu Jabatan 3 Periode, Fadjroel: Sikap Jokowi Seperti Pandito Ratu
Lebih lanjut Fadjroel menuturkan jika Jokowi akan tegak lurus kepada konstitusi.
Khususnya pada Pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama lima tahun.
Sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Diketahui sebelumnya, publik diramaikan dengan adanya isu amandemen UUD 1945 yang akan dilakukan, agar jabatan presiden bisa menjadi tiga periode.
Baca juga: Benny K Harman Yakin Jokowi Tak Berniat Tambah Jabatan Tiga Periode tapi . . .
Tak Ada Urgensi MPR Lakukan Amandemen UUD 1945
Diwartakan Tribunnews.com sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menilai tak ada urgensi untuk melakukan amendemen UUD 1945.
Sebab, menurut Fadli saat ini banyak kepentingan politik yang melatarbelakangi wacana perubahan UUD 1945, selain isu utama mengenai perlunya kembali negara memiliki haluan.
Hal itu disampaikannya dalam diskusi virtual bertajuk 'Menimbang Urgensi Amandemen UUD 1945 Edisi Kelima: Perlukah?', Sabtu (11/9/2021).
"Kalau kita letakkan dalam konteks politik hari ini terlalu banyak kepentingan yang berbeda. Formalnya itu soal PPHN, perlunya pengganti dari GBHN yang ketika itu sudah ada Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional pada tahun 2004," kata Fadli.
Baca juga: Sekjen PBB: Jokowi Tolak Wacana Presiden 3 Periode dan Amandemen Terbatas
Fadli mencontohkan, dari sisi kelembagaan sudah pasti ada kepentingan yang dimunculkan.
Misalnya DPD yang ingin memperkuat posisinya dalam sistem bikameral.
Begitu pula MPR yang menginginkan adanya arah kebijakan pembangunan bangsa dalam PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara).
Belum lagi isu atau wacana yang sengaja disisipkan oleh kelompok tertentu.
"Kita ini bukan orang baru di Indonesia sudah lama kita menjadi orang Indonesia. Nanti proses itu tiba-tiba terjadi pembelokan, akhirnya bukan sekedar PPHN bisa saja perubahan pasal terkait masa jabatan presiden dua periode atau ada keinginan lain karena itu sudah dilontarkan oleh beberapa pihak yang mempunyai suara di dalam MPR," ujar Fadli.
Baca juga: Jokowi Tegas Menolak Amandemen UUD 1945 dan Jabatan Presiden 3 Periode, Sebut Tak Mau Disalahkan
Anggota Komisi I DPR RI itu menilai sangat berbahaya jika terjadi pembajakan dalam proses amendemen.
Apalagi, disusupi kepentingan jangka pendek oleh kelompok-kelompok oligarki.
Padahal, Fadli meyakini bahwa mayoritas rakyat saat ini tidak menginginkan adanya perubahan konstitusi.
"Saya kira masyarakat umumnya pasti menolak karena tahu di balik rencana ini ada sebuah rencana-rencana lain yang tidak sejalan dengan priroritas yang seharusnya dikedepankan, prioritas menghadapi pandemi, ekonomi dan seterusnya," tandas Fadli.
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani/Chaerul Umam)