Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera yang juga bagian dari Perempuan Indonesia Antikorupsi (PIA), Bivitri Susanti, menyoroti dampak korupsi terhadap perempuan.
Bivitri yang juga merupakan pakar hukum tata negara itu menjelaskan saat ini sudah banyak studi tentang dampak buruk korupsi terhadap perempuan yang biasa disebut the gender impact of corruption.
Ia mencontohkan korupsi dalam kasus bantuan sosial yang membuat kualitas makanan bansos tersebut menurun.
Atas kondisi tersebut, kata dia, perempuan yang diberikan peran gender oleh komunitas harus mencari solusi.
Hal tersebut disampaikannya dalam Media Briefing Perempuan Indonesia Antikorupsi: Pernyataan Sikap Atas Pelanggaran Etik Pimpinan KPK Serta Pandangan Atas Kinerja KPK yang disiarkan di kanal Youtube Rumah Pemilu pada Senin (13/9/2021).
"Itu perempuan yang terkena the gender impact of corruption. Yang harus mengatasi ketika ada kemiskinan yang berlangsung. Banyak dampak lainnya," kata Bivitri.
Baca juga: Perempuan Indonesia Antikorupsi: Rasa Malu Harus Muncul Dalam Diri Pimpinan KPK
Ia melanjutkan contoh lainnya yakni pada September 2019 lima orang aktifis yang terdiri dari tiga mahasiswa dan dua pelajar meninggal dunia dalam demonstrasi #Reformasidikorupsi.
Ia pun menyebutkan nama-nama mereka yakni Imawan Randi, Yusuf Kardawi, Maulana Suryadi, Akbar Alamsyah, dan Bagus Putra Mahendra.
"Siapa yang harus kemudian menelan pil pahit ini, menjelaskan kepada keluarga, adik-adik dan lainnya kalau bukan ibu mereka? Dan sekarang nama-nama mereka pun sudah tidak lagi diingat," kata Bivitri.
Selain itu, ia juga menyoroti seringkali adanya tudingan kepada perempuan sebagai penyebab pasangan mereka melakukan korupsi.
Baca juga: Kasus Korupsi di PT Asuransi Jasindo, KPK Periksa 3 Saksi
"Itu juga gender impact of corruption ya, yang tentu saja karena tidak mengenal gender, sebenarnya itu pandangan yang keliru. Itu tidak tergantung pada jenis kelaminnya sebenarnya," kata dia.
Dalam studi-studi serupa, kata Bivitri, pertanyaan kunci yang diajukan adalah gender apa yang paling terdampak dengan risiko korupsi.
Pertanyaan kunci tersebut, kata dia, biasanya akan tergantung pada anggota keluarga mana yang punya kontak langsung dengan administrasi publik yang pada umumnya mengarah kepada perempuan.
"Lagi-lagi kelompok rentan, itu adalah perempuan, misalnya dari, bahwa dia tidak biasanya tidak diakui sebagai kepala keluarga secara administrasi kependudukan, sehingga seringkalii aksesnya untuk mendapatkan beberapa hal itu tertutup, padahal dia dalam kenyatannya adalah kepala keluarga tapi tidak bisa mengakses beberapa bantuan, karena dia perempuan, dianggapnya bukan kepala keluarga," kata Bivitri.
Baca juga: ICW Beri Nilai E untuk Polri Terkait Penindakan Kasus Korupsi Selama Januari-Juni 2021
Selain itu, kata dia, muncul juga pertanyaan kunci kedua yakni karakteristik gender seperti yang membuat orang lebih rentan terhadap perilaku korupsi.
Menurutnya pertanyaan tersebut juga bisa dikaitkan dengan dalam kondisi kemiskinan.
"Yang biasanya kena human trafficking siapa? Anak-anak perempuan," kata dia.