TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Abraham Liyanto menyebut ada ratusan Kepala Desa (Kades) dan mantan Kades di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) lolos dari jeratan hukum karena korupsi dana desa.
Mereka lolos berkat adanya aturan yang menyebut pemeriksa awal atas dugaan korupsi dana desa dilakukan inspektorat daerah.
“Ini kemunduran dalam penanganan korupsi dana desa. Banyak Kades atau mantan Kades yang lolos dari hukuman penjara karena aturan itu,” kata Abraham dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (16/9/2021).
Sebagaimana diketahui, sejak tahun 2019, ada nota kesepahaman antara Kemendagri, Polri dan Kejaksaan Agung tentang koordinasi antara Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dengan Aparat Penegak Hukum (APH) terkait laporan atau pengaduan masyarakat.
Baca juga: PPUU DPD RI Bahas Evaluasi Prolegnas Prioritas Tahun 2021 dengan Baleg DPR RI dan Pemerintah
Salah satu tema dalam nota kesepahaman itu terkait penanganan laporan korupsi dana desa yang memberi kewenangan kepada inspektorat daerah sebagai pemeriksa pertama.
Konsekuensi dari aturan itu adalah APH tidak bisa langsung memeriksa dan mengaudit dana desa berdasarkan laporan masyarakat, tetapi terlebih dahulu diperiksa inspektorat daerah.
Jika ditemukan kerugian negara yang bukan pelanggaran administratif, baru diserahkan ke APH untuk diperiksa lebih lanjut.
Abraham melihat aturan itu dimanfaatkan oleh para Kades dan mantan Kades. Mereka kerjasama dengan oknum Inspektorat Daerah, Dinas Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (BPMD), serta aparat terkait dalam hal pengelolaan dana desa.
“Laporan yang kami terima dari masyarakat, ada upaya melindungi para Kades dan mantan Kades oleh oknum inspektorat atau BPMD. Karena jika sang Kades diperiksa lebih lanjut oleh APH, otomatis inspektorat atau BPMD juga ikut diperiksa, bahkan bisa menjadi tersangka. Karena mereka sebagai pembina pengelola dana desa,” jelas sentaror dari NTT ini.
Dia memberi contoh di Kabupaten Manggarai, Provinsi NTT. Pada bulan November 2021 nanti, ada Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak untuk 94 desa.
Dari 94 desa yang menggelar Pilkades, hampir seluruhnya diikuti incumbent/petahana.
Anehnya, hampir semua petahana mendapat temuan dari inspektorat daerah yang menyebut mereka melakukan korupsi dana desa.
Namun temuan diduga sengaja dibuat hanya masuk dalam kategori pelanggaran administratif. Karena dengan jenis pelanggaran seperti itu, para mantan Kades tinggal membayar kerugian negara yang mereka korupsi.
Setelah itu dibayar, mereka mendapat surat bebas temuan dari inspektorat daerah sehingga bisa lolos sebagai calon Pilkades.
“Semua temuan dibuat dibawah Rp 100 juta biar masuk dalam kategori pelanggaran administratif. Itu karena diperiksa oleh inspektorat daerah. Padahal fakta di lapangan, korupsi yang dilakukan cukup besar dan sangat terang. Bahkan ada satu desa yang diduga melakukan korupsi dana desa hingga Rp 1 miliar,” tutur Ketua Kadin Provinsi NTT ini.
Dia juga menerima laporan bahwa dalam pelaksanaan 27 Pilkades serentak di Kabupaten Manggarai Timur yang baru selesai pada Agustus 2021 juga terjadi praktik yang sama.
Para mantan Kades yang melakukan korupsi dana desa dibuat sedemikian rupa agar hanya masuk kategori pelanggaran administratif.
Dengan cara itu, mereka bisa bebas lagi mengikuti Pilkades, bahkan beberapa orang terpilih kembali.
“Di kabupaten-kabupaten lain di NTT juga terjadi hal yang sama. Jadi ada ratusan yang lolos dari penjara karena adanya nota kesepahaman itu. Di provinsi lain juga pasti terjadi hal serupa. Maka terjadi kemunduran dalam pemberantasan korupsi dana desa,” tegas Abraham.
Senator yang sudah tiga periode ini meminta Menteri Dalam Negeri, Kapolri dan Kejaksaan Agung agar mencabut nota kesepakatan tersebut.
Alasannya, aturan itu menjadi celah lolosnya koruptor dana desa di daerah-daerah.
Dia mengingatkan jika nota kesepahaman itu tetap dipertahankan, akan lebih banyak lagi para Kades yang bebas dari hukuman penjara.
Fenomena seperti itu tidak hanya terjadi di NTT tetapi juga di tempat lain di negara ini.
“Kasihan dana desa jika ujung pelaporan masyarakat hanya masuk pelanggaran administratif. Para Kades akan pesta pora di desa-desa dengan menggaruk dana desa sebesar-besarnya. Toh kalau ada laporan, paling hanya masuk pelanggaran administratif. Padahal dana yang dikorup sangat besar,” tutup Abraham.