Seperti pakar hukum pidana Azmy Syahputra yang menegaskan bahwa pelanggaran itu bersifat delik aduan, sehingga sepanjang tidak ada laporan maka polisi belum dapat menindaklanjuti.
"Muatan moral dalam hukum ini penting dan mendasar, karena semestinya kehidupan berbangsa dan bernegara ini juga syarat muatan moral dan keadilan masyarakat. Karena makna hukum juga akan hilang jika makna sosiologi atas fungsi hukum hilang, yang berakibat akan timbul persoalan atau gesekan dalam masyarakat," katanya.
Di sisi lain, Kapolri saat ini merencanakan perlombaan mural dan telah dibenarkan oleh Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono. Namun untuk waktu pelaksanaannya masih dibahas lebih lanjut.
Andrea mengatakan respon 'restorative' dari Kapolri ini perlu didukung dalam rangka pemulihan kesalingterhubungan Polri-masyarakat. Akan tetapi Pemerintah Daerah melalui Satpol PP diharapkannya tidak boleh lengah, agar tidak terjadi 'sampah mata' akibat lokasi mural liar di wilayahnya.
Hanya saja dia menyoroti bahwa Polri memerlukan desain agar seluruh jajarannya mempunyai paradigma dan sikap yang responsive atau akuntabel dan berintegritas, bukan reaktif.
"Untuk itulah, oknum-oknum Polri yang terlibat urusan mural dan poster sebagaimana di atas, sudah patut ditindak berdasarkan peraturan disiplin internal. Hal ini karena Presiden RI telah menegur Kapolri sebagai akibat ketidak-patutan tindakan oknum-oknum anggota/pejabatnya di lapangan," jelasnya.
"Sesungguhnya ekspresi dalam mural dan poster itu hanyalah bagian puncak dari fenomena Gunung Es. Sehingga, akar permasalahannya yang perlu dipindai, analisa, dan ditanggapi dengan tepat, sebagai bagian dari permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebebasan yang hakiki adalah kebebasan yang menjaga kesalingterhubungan dengan berempati, bukan menyakiti," pungkas Andrea.