"Nah kita harus membalik angka ini menjadi terbalik, yang 37 persen mestinya yang belum melaksanakan, yang 63 persen yang sudah mengaselerasi untuk segera buka PTM," ucapnya.
Jumeri pun menyadari, bahwa pertimbangan tak menggelar PTM di sekolah ada banyak faktor. Misalnya, ada daerah yang mempertimbangkan karena daerah itu atau kabupaten itu ada di wilayah aglomerasi.
"Mungkin gandengannya itu masih berbahaya. sehingga takut kalau dibuka ada klaster," kata Jumeri.
"Kemudian pertimbangan-pertimbangan yang konserfatif, kepala daerahnya konservatif, sangat hati-hati untuk tidak segera membuka. Ini tentu butuh komunikasi untuk semua pihak" jelasnya.
Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda juga mengkritisi lambannya sekolah tatap muka. Menurutnya anak-anak sekarang sudah sangat rindu pergi ke sekolah bukan ke mal.
"Setahuku anak-anak rindu sekolah, tidak rindu mal. Karena itu, di mata saya ya, yang membidangi pendidikan, rasanya belum perlu anak-anak kita untuk diberi akses, diberi kesempatan untuk ke mal," kata Huda.
Politisi PKB itu bahkan sesumbar berani mengatakan jika ada survei soal kerinduan anak-anak di masa pandemi, maka opsi rindu ke sekolah lebih tinggi ketimbang ke mal.
"Saya meyakini hasil surveinya kira-kira 99 persen anak-anak akan ingin kembali ke sekolah karena anak-anak rindu kembali ke sekolah," ujarnya.
Baca juga: PTM Baru Dilakukan di 40 Persen Daerah dengan Level PPKM 1-3
Dia meminta sebaiknya pemerintah fokus bagaimana mengembalikan anak-anak untuk belajar di sekolah.
"Jadi manfaatkan momentum ini ketimbang ke mal, mending balik ke sekolah dan ini dirindukan anak-anak," pungkasnya.
Pakar epidemiologi Griffith University Dicky Budiman mengatakan sekolah sangat vital dan strategis karena itu perlu diingat bahwa ada anak-anak yang bakal kehilangan waktu emasnya saat tidak pergi ke sekolah.
"Sekolah itu amat vital dan strategis, karena perlu diingat, ada anak-anak dengan usia yang mana mereka tidak bisa kehilangan waktu emasnya," kata Dicky.
Dicky menerangkan bahwa di masa tumbuh kembang anak yang berada di dalam masa emasnya, membutuhkan rangsangan multi sensorik, rangsangan untuk berinteraksi tatap muka, serta melakukan berbagai kegiatan fisik. Semuanya itu hanya dapat dilakukan dengan interaksi langsung.
"Selain itu, dalam setiap pandemi, sekolah itulah yang paling akhir ditutup, dan ketika pandemi membaik, bukan mal atau lainnya yang dibuka pertama kali, tetapi sekolah," jelas Dicky.
Harus dipahami, kata Dicky, ini adalah persoalan yang menyangkut generasi muda penerus, masalah human development index yang sangat vital.