TRIBUNNEWS.COM - Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini kembali menjadi sorotan karena aksinya meluapkan emosi atau marah-marah di depan publik.
Terbaru, mantan Wali Kota Surabaya itu menjadi perbincangan setelah kedapatan memarahi seorang pegawai pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) di Gorontalo pada Kamis (30/9/2021) lalu.
Dalam video yang beredar, Risma terlihat memarahi pegawai tersebut karena diduga mencoret data penerima PKH.
Dengan nada tinggi, Risma terlihat menunjuk-nunjuk pegawai tersebut bahkan mengancamnya keluar dari ruangan.
Sontak, aksi Risma yang memarahi bawahannya kembali mendapat kritikan dari sejumlah pihak.
Bahkan, Gubernur Gorontalo Rusli Habibie mengaku kecewa dan tersinggung atas sikap Risma yang memarahi warganya.
Lantas, bagaimana tanggapan politisi hingga pengamat melihat aksi Risma marah-marah terulang?
Baca juga: Gubernur Gorontalo Kecewa Mensos Risma Marahi Pegawainya: Sangat Tidak Patut Dilakukan
Hidayat Nur Wahid Kritisi Sikap Risma dan Desak Presiden Menegurnya
Menanggapi aksi Risma tersebut, anggota DPR yang juga Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, mengkritisi kembali marah-marahnya Tri Rismaharini di depan publik.
HNW mengingatkan Mensos bahwa di MPR, ada TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang masih berlaku, dan seorang Menteri harusnya menjadi bagian dari pejabat yang memberikan teladan dalam menjalankan Etika tersebut.
Hidayat menilai, meluapkan kemarahan di depan publik tidak sesuai dengan Etika Pemerintahan dalam TAP MPR, apalagi kejadian tersebut langsung mengundang kecaman dari Gubernur Gorontalo dan masyarakat luas.
Baca juga: Risma Marah-marah, HNW: Pendataan Warga Itu Tanggung Jawab Bersama Kemensos dan Pemda
HNW mendesak Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan atau bahkan Presiden sebagai atasan Menteri Sosial untuk memberikan teguran langsung kepada Mensos.
Hal itu guna menenangkan kekecewaan atau keresahan yang muncul di masyarakat, dan agar kejadian serupa tak berulang pada kemudian hari.
"Mensos sudah pernah marah-marah di depan publik, setidaknya kepada pejabat Pemerintah di Jember, Bandung, Riau, dan kini di Gorontalo."