TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam beberapa hari terakhir publik dikejutkan dengan viralnya berita kekerasan seksual yang dialami tiga kakak beradik yang berusia di bawah 10 tahun.
Diduga pelakunya adalah ayah kandung korban.
Peristiwa ini terjadi di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, pada 2019.
Karena tidak menemukan cukup bukti, Polres Luwu Timur menghentikan proses penyelidikan pada tanggal 10 Desember 2019, persis dua bulan setelah kasus di laporkan ibu korban.
Kantor Staf Presiden menyampaikan keprihatinan mendalam atas terjadinya tindak kekerasan seksual tersebut.
Peristiwa kekerasan seksual kepada anak ini sangat melukai nurani dan rasa keadilan masyarakat.
Deputi V Kantor Staf Presiden bidang Politik, Hukum, Hankam, HAM dan Antikorupsi serta Reformasi Birokrasi, Jaleswari Pramodhawardani mengatakan Presiden Jokowi sangat tegas dan tidak bisa mentolerir predator seksual anak.
Baca juga: Kasus Ayah Diduga Rudapaksa Tiga Anak Kandung di Luwu Timur, Terduga Pelaku Buka Suara
Karena itu, menurut dia, pada 7 Desember 2020 Presiden Jokowi meneken Peraturan Pemerintah (PP) No 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Sebelumnya, dalam rapat terbatas tentang Penanganan Kasus Kekerasan kepada Anak tanggal 9 Januari 2000 Presiden Jokowi memberi arahan agar kasus kekerasan terhadap anak ditindaklanjuti secepat-cepatnya.
Presiden Jokowi juga menginginkan agar pelaku kekerasan terhadap anak diberikan hukuman yang bisa membuatnya jera.
Baca juga: Perjalanan Kasus Ayah Diduga Rudapaksa 3 Anaknya di Luwu Timur, Awal Pelaporan hingga Sekarang
“Kekerasan seksual terhadap anak tindakan yang sangat serius dan keji. Tindakan tersebut tidak bisa diterima akal budi dan nurani kemanusiaan kita. Terlebih lagi bila yang melakukan adalah ayah kandungnya. Oleh karena itu pelakunya harus dihukum berat,” kata Jaleswari Pramodhawardani dalam keterangan yang diterima, Jumat (8/10/2021).
Ia mengatakan, meskipun korban masih anak-anak, tetapi suara mereka harus tetap didengarkan.
“Walaupun anak-anak, suara korban harus kita dengarkan dan perhatikan dengan seksama. Termasuk suara Ibu para korban. Bayangkan saja mereka adalah anak-anak kita sendiri” kata Jaleswari
Wanita yang juga berlatar belakang aktivis perempuan ini pun mendorong agar Polri membuka ulang proses penyelidikan kasus tersebut.
“Karena itu, kalau memang ditemukan adanya kejanggalan dan kesalahan dalam proses penyelidikan oleh Polres Luwu Timur yang menyebabkan diberhentikannya proses penyelidikan pada akhir tahun 2019 yang lalu, atau ditemukannya bukti baru sebagaimana disampaikan oleh Ibu korban dan LBH Makassar, maka kami berharap Kapolri bisa memerintahkan jajarannya untuk membuka kembali kasus tersebut," katanya.
Bercermin dari kasus tersebut, ia pun mendorong disahkannya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk melindungi
"Kasus perkosaan dan kekerasan seksual pada anak serta penghentian penyelidikan dengan alasan tidak adanya bukti ini semakin memperkuat urgensi pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang mengandung norma khusus terkait tindak pidana kekerasan seksual," ujarnya.