TRIBUNNEWS.COM - Ngaben merupakan upacara pembakaran jenazah kremasi yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali.
Melansir kesrasetda.bulelengkab.go.id, upacara ngaben merupakan suatu ritual yang dilaksanakan untuk mengembalikan roh leluhur ke tempat asalnya.
Dalam bahasa Bali, "Ngaben" adalah konotasi bahasa halus yang sering disebut Palebon.
Palebon berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi (abu) atau tanah.
Untuk menjadikan prathiwi (abu) atau tanah ada dua cara, yaitu dengan cara membakar (ngaben) dan menanam ke dalam tanah (metanem).
Baca juga: Mengenal Upacara Ngaben, Berikut Asal-usul, Tujuan dan Jenisnya
Baca juga: Setahun Lebih Terhenti, Mulai Gelar Upacara Ngaben di Bali dengan Protokol Kesehatan Ketat
Asal-usul Upacara Ngaben
Dikutip dari Indonesia Kaya, menurut Nyoman Singgin Wikarman, kata "Ngaben" berasal dari kata "Beya" yang artinya bekal.
Ngaben disebut juga palebon yang berasal dari kata "Lebu" yang berarti prathiwi atau tanah (debu).
Untuk membuat tubuh manusia meninggal dunia menjadi tanah, salah satunya dengan dibakar.
Dalam ajaran Hindu, selain dipercaya sebagai Dewa Pencipta, Dewa Brahma memiliki wujud sebagai Dewa Api.
Jadi, upacara Ngaben adalah proses penyucian roh dengan cara dibakar menggunakan api agar bisa kembali ke Sang Pencipta.
Api yang membakar dipercaya sebagai penjelmaan Dewa Brahma.
Api akan membakar semua kekotoran yang melekat pada jasad dan roh orang yang telah meninggal dunia.
Orang Hindu percaya bahwa manusia terdiri dari tiga lapisan, yakni raga sarira, suksma sarira, dan antahkarana sarira.
Raga sarira adalah badan kasar atau tubuh fisik manusia.
Suksma sarira adalah badan astral berupa pikiran, perasaaan, keinginan, dan nafsu.
Sedangkan antahkarana sarira adalah yang menyebabkan hidup atau Sanghyang Atma.
Ketika manusia meninggal, badan tidak dapat difungsikan lagi.
Sementara atma (jiwa/roh) yang sudah terlalu lama dalam tubuh dan dikungkung suksma sarira harus segera meninggalkan badan, karena jika terlalu lama, atma akan menderita.
Manusia yang telah meninggal dunia perlu diupacarakan untuk mempercepat proses kembalinya badan kasar ke sumbernya di alam, yakni panca mahabhuta: pertiwi (tanah), apah (air), teja (api), bayu (udara), dan akasa (ruang).
"Proses inilah yang disebut Ngaben," tulis I Nyoman Singgin Wikarman.
Jika Ngaben ditunda terlalu lama, rohnya akan gentayangan dan menjadi bhuta cuwil.
Demikian pula jika orang meninggal dunia dikubur di tanah tanpa upacara yang patut.
Hal itu disebabkan karena roh-roh tersebut belum melepaskan keterikatannya dengan alam manusia.
Maka, perlu diadakan upacara Ngaben bhuta cuwil.
Tujuan Upacara Ngaben
Tujuan upacara Ngaben adalah mempercepat ragha sarira agar dapat kembali ke asalnya, yaitu panca maha buthadi alam ini dan bagi atma dapat cepat menuju alam pitra.
Masih dikutip dari kesrasetda.bulelengkab.go.id, landasan filosofis Ngaben secara umum adalah panca sradha yaitu lima kerangka dasar Agama Hindu yaitu Brahman, Atman, Karmaphala, Samsara dan Moksa.
Sedangkan secara khusus Ngaben dilaksanakan karena wujud cinta kepada para leluhur dan bhakti anak kepada orang tuanya.
Upacara Ngaben merupakan proses pengembalian unsur panca maha butha kepada Sang pencipta.
Ngaben juga disebut sebagai pitra yadnya (lontar yama purwana tattwa).
Pitra yang artinya leluhur atau orang yang mati sedangkan yadnya adalah persembahan suci yang tulus ikhlas.
Baca juga: Aturan Ngaben di Tengah Pandemi Virus Corona
Baca juga: Pencak Silat Diakui Sebagai Warisan Budaya Indonesia di Belanda
Jenis-jenis Upacara Ngaben
1. Upacara Pengabenan Ngewangun
Semua organ tubuh (sebagai awangun) memperoleh material upakara sehingga upakaranya banyak.
Ngaben jenis ini diikuti dengan Pengaskaran.
Ada dua jenis:
- Upacara Pengabenan mewangun Sawa Pratek Utama, ada jenasah atau watang matah.
- Upacara Pengabenan mewangun Nyawa Wedana, tidak ada jenasah tetapi disimbulkan dengan adegan kayu cendana yang digambar dan ditulis aksara sangkanparan.
Nyawa Wedana berasal dari kata Nyawa atau nyawang (dibuat simbul).
Wedana berarti rupa atau wujud.
Dengan demikian Nyawa Wedana artinya dibuatkan rupa-rupaan (simbolis manusia).
2. Upacara Ngabenan Pranawa
Pengabenan dengan sarana upakaranya ditujukan kepada 9 lobang yang ada pada diri manusia.
Pranawa berasal dari kata Prana (lobang, nafas, jalan) dan Nawa (artinya 9).
Kesembilan lobang yang dimaksud adalah:
- Udana (lobang kening), mempengaruhi baik buruknya pikiran
- Kurma (lobang mata) mempengaruhi budhi baik atau buruk , terobos ke dasendriya
- Krkara (lobang hidung), pengaruh Tri Kaya, jujur atau tidak4.Prana (mulut). Dosa bersumber dari mulut (Tri Mala Paksa)
- Dhananjya (kerongkongan). Kekuatan mempengaruhi manah – sombong dan durhaka
- Samana (lobang pepusuhan), pengaruh jiwa menjadi loba dan serakah.
- Naga (lobang lambung) pengaruh karakter yang berkaitan dg Sad Ripu
- Wyana (lobang sendi) pengaruhi perbuatan memunculkan Subha Asubha Karma.
- Apana (pantat kemaluan) pengaruhi kama yg berkaitan denga Sapta Timira.
Kesembilan lobang manusia ini dapat mengantar manusia kelembah dosa.
Pengabenan Pranawa juga diikuti dengan upacara pengaskaran.
Adapun lima jenis Pengabenan Pranawa, yakni:
- Sawa Pranawa, disertai jenasah atau watang matah.
- Kusa Pranawa, dengan watang matah atau hanya dengan adegan saja. Adegannya disertakan pengawak dari 100 katih ambengan. Memakai upacara pengaskaran.
- Toya Pranawa, sama dengan Kusa Pranawa, hanya didalam adegannya berisi payuk pere, berisi air dan dilengkapi dengan eteh-eteh pengentas. Juga memakai Pengaskaran.
- Gni Pranawa, seperti pranawa lainnya, juga melakukan pengaskaran tapi pengaskaran nista yang dilakukan di setra setelah sawanya menjadi sekah tunggal.
Tanpa uperengga seperti Damar kurung, tumpang salu, pepelengkungan, ancak saji, bale paga, tiga sampir, baju antakesuma, paying pagut.
Hanya memakai dammar layon, peti jenasah dan pepaga/penusangan.
- Sapta Pranawa, upacara dilakukan dirumah, menggunakan damar kurung dan pengaskaran.
Tapi tidak menggunakan Bale Paga pada waktu mengusung jenasah ke setra, hanya menggunakan pepaga/penusangan.
Selain itu juga dilaksanakan langsung di setra tapi pelaksanaan pengabenannya mapendem, serta pelaksanaan pengentasnya diata bambang.
3. Pengabenan Swastha
Pengabenan sederhana, dengan tingkat terkecil karena tidak dengan pengaskaran.
Berarti tidak menggunakan kajang, otomatis tanpa upacara Pengajuman Kajang.
Tidak menggunakan bale paga, damar kurung, damar layon, damar angenan, petulangan, tiga sampir, baju antakesuma dan payung pagut.
Hanya menggunakan peti jenasah dan Pepaga/penusangan untuk mengusung ke setra.
Pelaksanaan upacara di setra saja. Pengabenan Swastha Geni ini sering rancu dengan pengabenan Geni Pranawa.
Swasta asal katanya "su" (luwih, utama). Astha berasal dari Asthi (tulang, abu). Dengan demikian Swastha berarti pengabenan kembali ke intinya tapi tetap memiliki nilai utama.
Pengabenan swastha terdiri dua jenis:
- Pengabenan Swastha Geni
Penyelesaian di setra dengan cara membakar jenasah maupun tanpa jenazah.
Hanya ada pelaksanaan "pengiriman" setelah dibuatkan bentuk sekah tunggal, kemudian dilanjutkan dengan upacara nganyut. Setelah itu selesai.
- Pengabenan Swastha Bambang
Semua runtutan pelaksanaannya upakaranya dilaksanakan di atas bambang penguburan jenasah.
Kwantitas upakaranya sama dengan pengabenan Swastha Geni hanya saja dalam upakaranya ditambah dengan "pengandeg bambang".
Pengabenan swastha bambang ini tidak disertakan upacara pengerekan dan penganyutan, karena tidak dilakukan pembakaran melainkan dikubur.
Sedangkan "pengelemijian" dan pengerorasan tetap dilaksanakan seperti Ngaben biasa.
Pengabenan Swastha Geni atau Swastha Bambang termasuk pengabenan nista utama, tidak memakai bale paga, tidak melaksanakan pengaskaran dan pada saat ke setra memakai tumpang salu saja.
4. Pengabenan Kerthi Parwa
Pengabenan Kerthi Parwa termasuk pengabenan tingkat nistaning utama.
Dilakukan pada umat Hindu yang gugur di medan perang.
Tidak dilakukan pengaskaran, hanya upacara ngentas dan pengiriman saja.
Pelaksanaanya seperti pengabenan Swastha Geni.
5. Pengabenan Ngelanus
Pengabenan Ngelanus sebenarnya tidak termasuk bagian dari jenis pengabenan dan hanya teknisnya yang dibuat cepat.
Ada dua jenis pengabenan ngelanus, yakni:
- Ngelanus Tandang Mantri
Pengabenan dan pemukuran diselesaikan dalam satu hari.
Pengabenan ini mengacu pada sastra agama "Lontar Kramaning Aben Ngelanus".
Disebut juga dengan Pemargi Ngeluwer.
Pengabenan ini hanya untuk para Wiku, tidak diperkenankan untuk walaka.
- Ngelanus Tumandang Mantri
Ngelanus Tumandang Mantri dilakukan untuk walaka dalam kurun waktu satu sampai dua hari untuk para walaka.
Upakara dan upacaranya tergantung kwantitas upakara dan upacaranya.
(Tribunnews.com/Latifah/Yurika)