Itu pun kalau kondisi jalanan lancar dan belum termasuk berhenti di rest area.
"Hal ini belum termasuk mempertimbangkan banyaknya titik-titik tempat berkumpul/berinteraksi yang berisiko terjadi penularan selama menempuh perjalanan saat di rest area, kapal, dan titik lainnya. Sehingga dengan perbandingan di atas tentu dapat dinilai bersama oleh masyarakat tingkat risiko penularan virus COVID-19 lebih rendah pada transportasi udara dibandingkan jika dengan transportasi darat," tutur dia.
Dan poin ketiga adalah berkaitan dengan kelengkapan fasilitas laboratorium PCR dan sosial kemasyarakatan.
Sekarpura II menyoroti belum meratanya fasilitas testing lab PCR. Belum semua laboratorium bisa mengeluarkan hasil dalam waktu yang cepat.
Padahal, masa berlaku tes PCR bagi penumpang pesawat maksimal 2x24 jam. Di samping itu, harga tes PCR rata-rata masih di atas Rp 500 ribu.
"Tentu menjadi permasalahan tersendiri ketika ada kebutuhan mendesak dari masyarakat dalam hal jika ada yang tertimpa kemalangan, seperti anggota keluarga sakit keras atau meninggal dunia sehingga harus segera didatangi. Tentu sangat memberatkan bagi masyarakat tersebut karena harus menunggu keluar hasil tes PCR terlebih dahulu dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit," ungkap mereka.
"Maka dari itu, kami mempertanyakan di mana letak rasa kemanusiaan pemerintah saat ini terhadap hal-hal tersebut, yang dialami masyarakat yang juga sebagai pengguna jasa transportasi udara. Sedangkan di satu sisi, menurut pandangan kami bahwa transportasi udara seharusnya adalah sebagai sarana transportasi yang paling cepat, nyaman, dan aman saat ini," ujar Sekarpura II.
Meski demikian, Sekarpura menyampaikan mereka mengerti maksud pemerintah menerapkan protokol yang ketat bagi masyarakat.
Aturan itu bermaksud mencegah terjadinya penularan Covid-19. "Semoga penerapan persyaratan wajib PCR untuk para pelanggan pengguna jasa layanan transportasi udara dapat dikaji kembali," tutup Sekarpura II.(tribun network/har/dod)