Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jelang gelaran Ninth Session of Conference of Parties (COP9) yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda pada 8–13 November 2021, 100 ahli kesehatan dari 30 negara menyusun surat terbuka untuk delegasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Surat terbuka yang ditanda-tangani para ahli riset dan kebijakan tembakau dan nikotin ini meminta Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mengikutsertakan pendekatan pengurangan dampak buruk dalam upaya pengendalian tembakau.
COP9 sendiri adalah konferensi kesembilan yang membahas tentang implementasi dan evaluasi FCTC.
Menanggapi momen tersebut, ke-100 ahli ini merasa poin pengurangan dampak buruk tembakau patut menjadi perhatian, mengingat konferensi ini mampu memengaruhi kebijakan pengendalian tembakau bagi 182 negara yang terikat FCTC.
Surat terbuka ini menggugat sikap WHO yang dinilai tidak acuh terhadap potensi transformasi pasar tembakau untuk beralih dari produk tinggi risiko ke rendah risiko, meski sudah banyak inovasi dalam industri.
Mereka memaparkan tujuh alasan yang mengemukakan peran produk rendah risiko dalam mendorong perokok beralih ataupun berhenti merokok sehingga memberikan dampak lebih baik bagi kesehatan publik.
Baca juga: Akademisi Ungkap Dugaan Peran Asing Ganggu Industri Hasil Tembakau RI
Mereka menilai jika semakin banyak produk rendah risiko di industri, maka prevalensi perokok akan berkurang yang artinya mendorong pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Ada enam rekomendasi untuk FCTC yang dikemukakan oleh ahli dari berbagai Lembaga yang tersebar di 29 negara ini.
Mereka meminta FCTC untuk memberikan kritik tegas terhadap kegiatan advokasi WHO mengenai produk tembakau alternatif yang dinilai tidak sejalan dengan pendekatan pengurangan dampak buruk tembakau.
Pertama, menjadikan pengurangan dampak buruk tembakau sebagai bagian dari strategi global untuk memenuhi SDG kesehatan, terutama terkait penyakit tidak menular.
Kedua, memastikan setiap analisis kebijakan WHO telah melalui proses penilaian yang tepat mengenai manfaat dan risiko bagi perokok dan calon perokok (termasuk remaja), serta orang sekitarnya.
Ketiga, memastikan semua pengajuan kebijakan mempertimbangkan konsekuensi yang tidak diinginkan, terutama kebijakan pelarangan.
Konsekuensi yang dimaksud termasuk potensi peningkatan angka perokok dan kemungkinan kerugian lainnya.
Keempat, menerapkan Pasal 5.3 FCTC untuk mengatasi malpraktik industri tembakau dengan benar.
Namun, tanpa menciptakan penghalang terhadap produk berisiko rendah yang memiliki manfaat bagi kesehatan masyarakat atau untuk mencegah penilaian kritis terhadap data industri hanya berdasarkan penilaian ilmiah.
Kelima, membuat negosiasi FCTC lebih terbuka bagi para pemangku kepentingan yang memiliki pandangan pengurangan dampak buruk, termasuk konsumen, pakar kesehatan masyarakat, dan beberapa bisnis yang memiliki pengetahuan khusus yang tidak dimiliki dalam komunitas pengendalian tembakau pada umumnya.
Baca juga: Peneliti Menilai Tembakau yang Dipanaskan Lebih Rendah Risiko
Terakhir, memulai kajian independen terhadap pendekatan WHO dan FCTC terhadap kebijakan tembakau dalam konteks SDGs.
Kajian tersebut dapat membahas interpretasi dan penggunaan sains, kualitas rekomendasi kebijakan, keterlibatan pemangku kepentingan, akuntabilitas, dan tata kelola.
Layaknya bentuk respons pandemi Covid-19, diperlukan semacam Panel Independen untuk Kesiapsiagaan dan Respons Pandemi (IPPPR), yang dilantik untuk mengevaluasi respons.
Para ahli juga percaya bahwa ini adalah saat yang tepat untuk kebijakan tembakau mengoptimalkan potensi pengurangan dampak buruk tembakau.
Mereka juga berharap komunitas akademisi, praktisi, dan pengambil kebijakan akan bersatu dalam mendukung agenda SDGs melalui pengurangan dampak buruk tembakau.
Bias negatif WHO terhadap produk tembakau alternatif
Pada 2020, WHO menerbitkan laman tanya jawab mengenai produk vape yang mengklaim bahwa vape memiliki tingkat candu yang tinggi dan berbahaya bagi kesehatan, serta dapat menyebabkan gangguan paru.
Hal ini dibantah oleh para ahli, salah satunya Profesor Peter Hajek, Queen Mary University, Inggris.
"Hampir semua fakta dalam pernyataan (di laman tanya jawab) tersebut salah. Tidak ada bukti bahwa vape memiliki tingkat kecanduan yang tinggi. Tidak ada bukti bahwa vape meningkatkan risiko penyakit jantung atau yang dapat memiliki efek pada orang di sekitarnya. Sementara, ada bukti yang jelas bahwa vape membantu perokok berhenti,” ungkapnya dalam forum daring Science Media Centre, seperti dikutip pada Kamis (28/10/2021).
“WHO menjawab ‘tidak tahu’ ketika menanggapi pertanyaan mengenai tingkat risiko vape dibanding rokok konvensional. Padahal vape sudah jelas memiliki risiko yang lebih rendah. Ini menunjukkan bahwa WHO salah mengartikan bukti ilmiah yang sudah ada,” timpal Profesor John Britton, University of Nottingham, Inggris.
Dampaknya untuk Indonesia
Indonesia sendiri tidak menandatangani FCTC karena peraturan pengendalian tembakaunya merujuk pada PP Nomor 109 Tahun 2012.
Namun, seruan para ahli untuk mengadopsi pengurangan dampak buruk tembakau dalam upaya pengendalian tembakau tetap relevan untuk negara yang ingin mengurangi prevalensi perokok, termasuk dalam hal ini Indonesia.
Hal ini sejalan dengan pernyataan David Nutt, Guru Besar Imperial College, London.
“Vape dan snus (produk tembakau alternatif) memiliki potensi untuk menjadi kemajuan inovasi kesehatan abad ini. WHO harus mengambil kesempatan ini, bukan malah menghalanginya,” ujar Nutt pada forum daring The Counterfactual.
Saat ini produk tembakau alternatif sudah masuk ke Indonesia, tetapi belum ada regulasi yang mumpuni untuk mengoptimalkan manfaat produk tembakau alternatif ini.