Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penahanan terhadap orang kepercayaan Zumi Zola, Apif Firmansyah.
Apif menjadi tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Provinsi Jambi Tahun 2016-2021.
"Setelah KPK melakukan pengumpulan keterangan baik berupa informasi dan data dari berbagai pihak serta fakta persidangan di perkara Zumi Zola dkk yang telah berkekuatan hukum tetap, kemudian dilanjutkan dengan proses penyelidikan, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup dan meningkatkan perkara ini ke tahap penyidikan pada Juni 2021," ucap Direktur Penyidikan KPK Setyo Budiyanto di kantornya, Kamis (4/11/2021).
Setyo menjelaskan kasus yang menjerat Apif merupakan pengembangan perkara yang telah menjerat Zumi Zola.
Baca juga: Terkait Kasus Zumi Zola, 4 Eks Anggota DPRD Jambi Ditetapkan Sebagai Tersangka
Zumi Zola sudah divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider 3 bulan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 6 Desember 2018.
Dia pun menjalani hukuman tersebut di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Jawa Barat sejak 14 Desember 2018.
Konstruksi perkaranya, Setyo menjelaskan, Apif sebagai orang kepercayaan dan representasi dari Zumi Zola di mana ketika Zumi Zola maju menjadi calon Bupati Tanjung Jabung Timur, Jambi di tahun 2010, Apif selalu ikut mendampingi Zumi Zola melakukan kampanye.
"Saat Zumi Zola terpilih menjadi Bupati Tanjung Jabung Timur, AF semakin dipercaya untuk terus mendampingi, membantu dan mengurus berbagai kegiatan dinas sampai dengan keperluan pribadi Zumi Zola," kata Setyo.
Berlanjut hingga Zumi Zola terpilih menjadi Gubernur Jambi periode 2016-2021, sambung Setyo, Apif kembali dipercaya untuk mengurus semua keperluan Zumi Zola, di antaranya mengelola kebutuhan dana operasional dengan meminta sejumlah fee proyek dari para kontraktor yang mengerjakan berbagai proyek di Provinsi Jambi.
Kemudian sejumlah uang yang terkumpul tersebut diberikan kepada Zumi Zola dan keluarganya, termasuk untuk keperluan pribadi Apif Firmansyah.
Adapun total yang telah dikumpulkan oleh Apif sejumlah Rp46 miliar, di mana dari jumlah uang tersebut sebagaimana perintah Zumi Zola, sebagian diberikan kepada anggota DPRD Provinsi Jambi terkait uang ketok palu pembahasan RAPBD Tahun Anggaran 2017.
"AF juga diduga menerima dan menikmati uang sejumlah sekitar Rp6 miliar untuk keperluan pribadinya dan yang bersangkutan saat ini sudah melakukan pengembalian sejumlah Rp 400 juta ke KPK," ungkap Setyo.
Atas perbuatannya, Apif Firmansyah disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Dan, Pasal 12B atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Untuk kepentingan proses penyidikan, tim penyidik melakukan upaya paksa penahanan pada Apif Firmansyah selama 20 hari pertama, terhitung mulai 4 November 2021 sampai dengan 23 November 2021 di Rutan KPK gedung Merah Putih.
"Dilakukan isolasi mandiri selama 14 hari sebagai upaya antisipasi penyebaran Covid-19 di dalam lingkungan Rutan KPK pada Rutan KPK dimaksud," kata Setyo.
Setyo menyebutkan pemufakatan jahat korupsi antara penyelenggara negara dengan pelaku usaha pada pengadaan barang dan jasa seringkali tidak hanya terjadi pada tahap pelaksanaan, namun juga sering terjadi sejak pada tahap perencanaan bahkan hingga pengawasannya.
"Suap menjadi modus yang sering dilakukan para pelaku usaha untuk memperoleh proyek dari pemerintah," sebutnya.
Konsekuensinya, lanjut Setyo, pelaku usaha akan menurunkan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan agar tetap memperoleh keuntungan.
Alhasil, masyarakatlah yang menjadi pihak paling dirugikan karena kualitas barang dan jasa yang dihasilkan tersebut tidak memberikan manfaat sebagaimana mestinya.
"Kami prihatin sekaligus berharap korupsi pengadaan barang dan jasa yang melibatkan para penyelenggara negara dan pelaku usaha ini tidak kembali terjadi," ujarnya.
"Korupsi pengadaan barang dan jasa selain tidak sejalan dengan semangat pemerintah untuk percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) juga menghambat pembangunan di daerah," imbuh Setyo.