Bung Tomo merupakan sosok pekerja keras, terbukti ia suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan agar menjadi lebih baik pada saat itu.
Lalu pada usia 12 tahun, Bung Tomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu.
Ketika itu, ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO.
Ia juga menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat korespondensi, tetapi tidak pernah resmi lulus.
Bung Tomo aktif dalam organisasi dengan nama Kepanduan Bangsa Indonesia atau KBI pada saat usianya masih muda.
Sutomo menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya.
Memasuki usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda.
Memiliki minat di bidang jurnalisme
Bung Tomo juga memiliki minat pada dunia jurnalisme.
Tahun 1937, ia bekerja sebagai wartawan lepas pada Harian Soeara Oemoem di Surabaya.
Setahun kemudian atau tepatnya pada tahun 1939, ia menjadi Redaktur Mingguan Pembela Rakyat serta menjadi wartawan dan penulis pojok harian berbahasa Jawa, Ekspres, di Surabaya.
Tahun 1942-1945, pada masa pendudukan Jepang, Bung Tomo bekerja di kantor berita tentara pendudukan Jepang, Domei, bagian Bahasa Indonesia untuk seluruh Jawa Timur di Surabaya.
Kemudian saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, Bung Tomo memberitakannya dalam bahasa Jawa bersama wartawan senior, Romo Bintarti.
Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menghindari sensor Jepang.