TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat militer Universitas Paramadina Anton Aliabbas mengungkapkan modal dan tantangan Panglima TNI terpilih Jenderal TNI Andika Perkasa dalam mengemban tugasnya setelah nanti resmi dilantik oleh Presiden Joko Widodo.
Seperti yang sudah diprediksi, kata dia, proses pengangkatan Jenderal Andika Perkasa sebagai Panglima TNI di DPR berjalan lancar tanpa hambatan berarti.
Secara bulat, kata dia, DPR menyetujui usul Jokowi untuk mengangkat Andika memimpin TNI menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto.
Ia menilai sejumlah catatan kritis yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terhadap sosok Andika tidak menjadi perhatian khusus bagi DPR.
Apalagi, lanjut dia, sejak Mei 2021, sejumlah anggota DPR dari berbagai fraksi parpol pendukung pemerintah secara terbuka menyampaikan dukungan kepada Andika untuk menjadi Panglima TNI.
"Suara bulat DPR ini tentu saja bisa menjadi salah satu modal bagi Andika untuk memimpin organisasi TNI," kata Anton saat dihubungi Tribunnews.com pada Selasa (9/11/2021).
Dukungan politik di DPR, lanjut dia, dibutuhkan mengingat pelaksanaan tugas TNI, baik OMP maupun OMSP, mensyaratkan keputusan politik negara.
"Tentu saja, perbaikan dan implementasi kebijakan TNI ke depan akan sangat berkaitan dengan peningkatan efektivitas pelaksanaan tugas TNI," kata Anton.
Baca juga: Belum Dilantik Sudah Muncul Wacana Masa Jabatan Jenderal Andika Diperpanjang hingga 2024, Bisakah?
Meski demikian, kata dia, publik tentu masih berharap DPR tetap menjalankan fungsi pengawasan dengan baik.
Bagaimanapun juga, lanjut dia, kepemimpinan Andika di TNI tetap membutuhkan pengawasan eksternal yang kuat.
Hal tersebut menurutnya menjadi penting untuk tetap menjaga TNI dikelola sesuai koridor hukum dan berbasis profesionalisme.
Ia mengatakan tantangan yang dihadapi Andika dalam memimpin TNI setidaknya bisa dikelompokkan dalam dua klaster.
Klaster pertama adalah tantangan jangka pendek.
Dalam konteks tersebut, menurutnya dinamika keamanan domestik dan regional menjadi dua hal pokok yang patut mendapat perhatian.
Dinamika keamanan yang terjadi di Aceh, Poso dan Papua serta ketegangan di kawasan, lanjut dia, baik itu AUKUS, Laut China Selatan hingga China-Taiwan menjadi penting untuk diberikan porsi atensi memadai.
Untuk itu, kata dia, enam dari delapan fokus implementasi program yang sudah dipaparkan saat Fit and Proper Test semestinya ikut diarahkan untuk merespon dinamika tersebut.
Enam fokus tersebut yakni penguatan pelaksanaan tugas TNI yang didasarkan UU, penguatan opspamtas, peningkatan kesiapsiagaan, sinergisitas intelijen, pemantapan interoperabilitas, dan diplomasi militer.
Penyiapan program yang terukur dan konkrit, kata dia, akan menjadi penting agar evaluasi implementasi program mudah terlihat.
"Termasuk juga komitmen dan keseriusan Andika untuk meninjau kembali pelaksanaan tugas TNI yang berbasis pada kerangka legal akan diuji," kata Anton.
Klaster kedua, kata Anton, adalah tantangan jangka menengah dan panjang.
Dalam konteks tersebut, menurutnya tantangan pencapaian target pembangunan kekuatan pertahanan di tengah pandemi menjadi krusial.
Sekalipun dalam paparan awal fit and proper test, kata dia, Andika tidak mengelaborasi secara spesifik, namun keikutsertaan TNI dalam mendorong pemenuhan kebutuhan pembangunan kekuatan pertahanan tetap menjadi esensial.
Saat ini, kata dia, fokus pemerintah masih banyak berpusat pada pemulihan ekonomi akibat pandemi.
Meski demikian, lanjut Anton, hal tersebut tidak dapat menjadi justifikasi kita untuk menunda pembangunan kekuatan pertahanan.
Oleh karena itu, kata dia, dibutuhkan terobosan dan inovasi dalam menyusun upaya pembangunan kekuatan pertahanan dan apa yang dilakukan Andika tersebut dapat menjadi pondasi.
Mengingat ancaman siber terus meningkat, kata dia, ada baiknya fokus peningkatan operasional siber lebih ditujukan untuk membangun sistem pertahanan siber.
"Hal ini menjadi penting bagi TNI untuk tetap berfokus pada penguatan pertahanan siber dan tidak overlap dengan tugas instansi lain," kata dia.
Hal lain yang juga tidak kalah penting untuk diprioritaskan secara tegas, kata dia, adalah membangun SDM TNI.
Program tersebut, kata Anton, akan menjadi strategis mengingat visi sentral pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin adalah membangun SDM.
Untuk itu, kata dia, fokus implementasi penataan organisasi TNI semestinya tidak berhenti pada penguatan tata kelola, revitalisasi dan reaktualisasi struktur dan organisasi.
Menurutnya penyiapan blue print pembangunan SDM yang juga mengadopsi pengelolaan organisasi secara modern dan profesional menjadi esensial.
Berdasarkan UU TNI, kata dia, ketentuan perihal pembinaan karir TNI berada pada Panglima TNI.
"Dengan bekerja sama dengan tiga kepala staf, penataan dan perbaikan pola karir prajurit TNI mendesak dilakukan untuk menyelesaikan problem penumpukan perwira di kepangkatan tertentu," kata Anton.
Perbaikan mendasar tersebut menurutnya menjadi penting untuk ikut menjaga komitmen, konsistensi dan kontinuitas dari program penataan SDM TNI.
"Hal ini juga guna menghindari adanya unsur favoritism ataupun patron dalam pengelolaan karir prajurit," kata Anton.
Selain itu, menurutnya penerapan merit based-system dalam karir prajurit hendaknya juga dapat secara konsisten dan kontinyu diterapkan.
"Termasuk bagaimana Andika membuka ruang apresiasi bagi prajurit TNI yang memiliki pendidikan lanjutan dan prestasi dari kampus terbaik di dunia untuk dapat berkontribusi nyata membangun TNI," kata Anton.