TRIBUNNEWS.COM - Berikut ini profil dan cerita kehidupan Cut Nyak Dhien, pahlawan nasional wanita asal Aceh yang menentang kolonialisme Belanda.
Dikutip dari laman resmi Pemerintah Aceh, pemerintah Indonesia mengangkat Cut Nyak Dhien sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 106/TK/1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
Sebagai tokoh penting dalam sejarah Tanah Air, Cut Nyak Dhien kerap diabadikan dalam berbagai media.
Di antaranya berupa film yang berjudul Tjoet Nja’ Dhien, film ini disutradarai oleh Eros Djarot dan dirilis perdana pada 1988.
Baca juga: Profil Ismail Marzuki, Komposer Musik yang Muncul di Google Doodle Hari Pahlawan 2021
Profil Cut Nyak Dhien
Berikut ini profil Cut Nyak Dhien yang dikutip melalui laman acehprov.go.id.
Cut Nyak Dhien dilahirkan pada tahun 1848 di kampung Lam Padang Peukan Bada, Aceh Besar.
Cut Nyak Dhien merupakan seorang putri uleebalang yang berdarah pahlawan, Teuku Nanta Seutia.
Uleebalang sendiri merupakan kepala pemerintah dalam kesultanan Aceh yang memimpin sebuah daerah atau sagoe, yaitu wilayah setingkat kabupaten dalam struktur pemerintahan Indonesia sekarang.
Ibu Cut Nyak Dhien juga berasal dari keturunan bangsawan, putri seorang uleebalang terkemuka dari kemukiman Lampagar.
Sebagaimana lazimnya Putri bangsawan dan putri Aceh lainnya, sudah sejak kecil Cut Nyak Dhien memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama.
Pendidikan itu diberikan, baik oleh orang tuanya maupun oleh guru-guru agama pada waktu itu.
Sebagai seorang putri uleebalang, Cut Nyak Dhien terbawa dan terpengaruh oleh pola dan cara hidup bangsawan.
Sifat Cut Nyak Dhien
Oleh karena pengaruh didikan agama yang kuat, Cut Nyak Dhien memiliki sifat-sifat yang tabah, lembut dan tawakal.
Pernikahan Cut Nyak Dhien
Seperti lazimnya pada masyarakat bangsawan di Aceh, perjodohan antara sesama kerabat bangsawan menjadi hal yang lumrah.
Di saat Cut Nyak Dhien menginjak 12 tahun, ia dijodohkan oleh orang tuanya dengan anak saudara laki-laki dari pihak ibunya yang bernama Teuku Ibrahim.
Pendorong perjuangan Cut Nyak Dhien melawan Belanda
Pasukan Teuku Nanta dan Teuku Chik Ibrahim yang bermaksud mempertahankan daerahnya akhirnya harus menyingkir akibat serangan dari Belanda yang dipimpin oleh Van Der Hayden.
Akhirnya, daerah tersebut berhasil dikuasai oleh Belanda.
Pada tanggal 29 Juni 1878 dalam suatu pertempuran di Lembah Beurandeun Gle' Taron, kemukiman Montasik, Teuku Ibrahim dan beberapa pengikutnya meninggal.
Oleh karena kekecewaan dan kesedihan akibat ditinggal suaminya, Cut Nyak Dhien berniat membalaskan dendamnya kepada Belanda.
Setelah beberapa bulan menjanda, Cut Nyak Dhien dipinang oleh Teuku Umar yang kebetulan adalah cucu dari kakek Cut Nyak Dhien sendiri.
Baca juga: Profil Ahmad Yani: Sang Jenderal Penumpas Gerakan DI/TII, Dianugerahi Pahlawan Revolusi
Mulai berperang
Cut Nyak Dhien mulai ikut berperang pada tahun 1880 dengan suami keduanya, Teuku Umar.
Bersatunya dua kesatria ini mengobarkan kembali semangat juang rakyat Aceh.
Siasat berperang
Setelah beberapa kali Cut Nyak Dhien, suami, dan pasukannya melakukan perlawanan, pada tanggal 30 September 1893 Teuku Umar beserta 250 orang pasukannya secara resmi menyatakan tunduk kepada gubenur Belanda di Kutaraja.
Teuku Umar bersedia membantu Belanda untuk mengamankan Aceh.
Karena itu Pasukannya diberi perlengakapan yang cukup.
Cara yang dilakukan oleh Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien digunakan untuk mempelajari taktik perang Belanda.
Teuku Umar diangkat sebagai panglima dengan gelar Teuku Umar Johan Pahlawan.
Selama kurang lebih 3 tahun, Teuku Umar pada tanggal 29 Maret 1896 kembali membawa pasukannya untuk bergabung dengan pejuang Aceh beserta perlengkapan persenjataan pemberian Belanda.
Mengetahui tindakan pengkhianatan yang dilakukan oleh Teuku Umar, Belanda mencabut jabatan sebagai panglima perang, gelar kebesaran "Johan Pahlawan" dan menyatakan perang terhadap Teuku Umar.
Akhirnya, Teuku Umar beserta Cut Nyak Dhien pergi ke daerah Barat Aceh dan bertempur habis-habisan melawan Belanda.
Baca juga: Kumpulan Kata Mutiara Para Pahlawan Nasional Indonesia, Simak Selengkapnya
Nahas, saat perang yang terjadi pada 11 Februari 1899 membuat Teuku Umar tewas tertembak.
Meski suaminya meninggal, Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh.
Dengan kondisi Cut Nyak Dien semakin rentan. Matanya mulai rabun dan terkena encok, ditambah sumber makanan yang tidak pasti karena benar-benar telah habis dan jumlah pasukan yang juga berkurang.
Kondisi itu membuat pasukannya iba dan salah satu anak buahnya melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda.
Dengan mudah Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu dan membuatnya terkejut.
Mereka tetap berperang matia-matian, tapi berhasil digagalkan oleh pasukan Belanda, Cut Nyak Dien pun akhirya tertangkap.
Setelah ditangkap Cut Nyak Dien kemudian dibawa ke Banda Aceh.
Di Banda Aceh, Cut Nyak Dien sempat mendapatkan perawatan untuk penyakitnya.
Bahkan penyakitnya, seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh.
Diasingkan
Setelah ditangkap dan mendapatkan perawatan, Cut Nyak Dien selanjutnya diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat pada tahun 1907.
Pengasingan tersebut dilakukan karena Van Daalen sebagai Gubernur Belanda di Kutaradja merasa ketakutan dan khawatir bahwa Cut Nyak Dhien dan rakyatnya dianggap kemungkinan masih bisa melakukan perlawanan.
Cut Nyak Dhien Meninggal
Pada 6 November 1908, Cut Nyak Dien meninggal karena usianya yang sudah tua.
Cut Nyak Dien dimakamkam di daerah pengasingan.
Bahkan makam Cut Nyak Dien baru ditemukan pada 1959
Tokoh-tokoh yang mendampingi perjuangan Cut Nyak Dhien
Tokoh-tokoh besar yang mendampingi perjuangan Cut Nyak Dhien
Tokoh-tokoh tersebut diantaranya Teuku Ali Baet (menantunya), Sultan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polim yang terus mengobarkan perang sabil di daerah Pidie.
(Tribunnews.com/ Kristina Wulandari)
Artikel lain terkait Profil Tokoh: