Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) memberikan tanggapan soal tudingan banyaknya Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China di industri Smelter Nikel.
Direktur Tenaga Kerja Asing (TKA) Kementerian Ketenagakerjaan Haryanto menegaskan bahwa masuknya TKA harus sesuai PP 34 2021 tentang penggunaan TKA yang didalamnya ada fungsi pengendalian.
“TKA yang dipekerjakan pada proyek smelter menuntut keahlian tertentu,” kata Haryanto saat dihubungi Tribunnews.com lewat telpon, Selasa (23/11/2021).
Jika benar ada buruh kasar yang bekerja di industri smelter, hal tersebut bisa ditindak karena tidak sesuai dengan perizinan yang diberikan pemerintah.
“Kalau disinyalir ada buruh kasar dalam kacamata masyarakat. Kalau itu (benar) ada berarti itu kasus. Itu bisa ditindak, karena tidak sesuai dengan perizinan yang pemerintah berikan,” ujarnya.
Menurut dia, ketersediaan sumber daya manusia (SDM) dalam negeri untuk mendukung pembangunan proyek smelter masih belum mumpuni.
Baca juga: Legislator PKS Minta Luhut Tak Lepas Tangan Soal Maraknya TKA China pada Industri Smelter
Sehingga, investor masih kerap mendatangkan skill dari luar negeri, termasuk dari China.
Berdasarkan catatan Kemnaker, TKA secara umum pada tahun 2017 ada sekira 85.900, kemudian naik menjadi sekira 95.300 pada tahun 2018, dan kembali naik menjadi sekira 109.500 pada tahun 2019.
Namun pada tahun 2020 jumlah TKA mengalami penurunan menjadi 93.700 akibat pandemi Covid-19.
Namun, ia belum bisa merinci berapa TKA yang bekerja pada industri smelter.
“Posisi saat ini per tanggal sekarang yang tercatat di database kami untuk TKA (secara umum) jumlahnya ada 84,882. Artinya kalau kita lihat trennya dari 2019 ke 2021 turun. Yang pasti dipengaruhi pandemi, karena adanya pembatasan masuk orang, termasuk didalamnya pembatasan TKA,” ujarnya.
Haryanto mengatakan pihaknya memiliki institusi pengawasan terhadap TKA.
Baca juga: Pemerintah Diminta Lakukan Ini Supaya RI Tidak Kena Dampak Inflasi di China
Begitu juga di imigrasi ada petugas maupun pejabat teknis imigrasi yang mempunyai fungsi pengawasan dan penindakan.
Ia menegaskan, proyek-proyek yang menggunakan TKA pun wajib melakukan proses pelatihan kepada tenaga kerja Indonesia juga, serta mempekerjakan TKA tersebut sesuai dengan tempat dan fungsinya.
Direktur Kemnaker meminta, manakala ada masyarakat melihat ada penyimpangan dalam penggunaan TKA oleh pihak-pihak tertentu agar melapor kepada dinas ketenagakerjaan maupun Kemnaker Pusat.
Dengan adanya laporan, pihaknya bisa melakukan melakukan investigasi dan menindaklanjuti jika terbukti ada penyimpangan.
“Manakala ada masyarakat melihat ada penyimpangan, itu yang kita harapkan juga masyarakat bisa melaporkan kepada dinas tenaga kerja setempat, atau Kemnaker pusat. Biar nanti ada tim yang bisa mengecek kebenaran dari laporan tersebut,” katanya.
Sebelumnya anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS Mulyanto meminta Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan, tidak lepas tangan dengan banyaknya tenaga kerja asing (TKA) China di industri smelter nikel.
Apalagi dengan alasan, bahwa Indonesia tidak memiliki SDM untuk itu.
Sementara ditengarai banyak TKA yang bekerja di industri smelter tidak berkualifikasi tenaga ahli.
Di antaranya malah datang ke Indonesia dengan visa turis.
Kondisi ini, kata Mulyanto, sangat merugikan tenaga kerja domestik dan pemasukan pajak negara.
"Masak TKA yang datang pada industri smelter ini berkualifikasi pekerja kasar dan dengan visa kunjungan. Ini kan merugikan kita. Pemerintah tentunya harus memastikan soal ini, agar tidak menjadi isu liar di tengah masyarakat," kata Mulyanto, dalam keterangannya, Selasa (23/11/2021).
Baca juga: Catat Rekor Tertinggi, PMI Manufaktur Indonesia Kembali Lampaui China dan Korea
Mulyanto menilai Indonesia memilikI SDM yang siap untuk dilatih mengelola smelter.
Smelter milik pengusaha domestik juga ada dan saat ini Mind ID dan PT Aneka Tambang sedang gencar membangun pabrik Feronikel di Halmahera dengan kapasitas 13,500 nikel dan Smelter Grade Alumina (SGA) di Mepawah, Kalimantan Barat dengan kapasitas 2 juta ton per tahun. Begitu juga smelter PT. Freeport Indonesia di Gresik.
"SDM Indonesia dapat disiapkan untuk mengelola smelter. Cuma kebijakan politik Pemerintah saja yang tidak memihak dan tegas terkait alih teknologi ini," ujarnya.
Menurutnya, kebijakan pemerintah terlalu memanjakan pengusaha smelter asing. Harusnya ada kebijakan atau perjanjian semacam offset yang mewajibkan pekerjaan kelas menengah dan buruh diserahkan untuk tenaga kerja domestik, tidak bulat-bulat mendatangkan TKA.
"Kalaupun ini tidak bisa langsung dipenuhi, paling tidak dapat dilakukan secara bertahap melalui mekanisme pelatihan alih teknologi. Ini soal pilihan kebijakan dari pemerintah dan perhanjian dengan pihak asing," ucapnya.
Selain soal TKA, Mulyanto juga mendesak pemerintah terus mengevaluasi pelaksanaan program hilirisasi nikel ini.
Menurutnya jangan sampai nilai tambah dan efek pengganda (multiflyer effect) dari program ini jauh dari apa yang dijanjikan Pemerintah.
"Hilirisasi nikel ini kan program yang bagus, agar kita tidak mengekspor bahan mentah, tetapi bahan jadi dengan nilai tambah tinggi. Dengan demikian, penerimaan Negara akan meningkat. Selain itu dapat menyerap banyak tenaga kerja lokal," ucapnya.
"Namun, kalau prakteknya yang dihasilkan hanyalah produk nikel setengah jadi dengan nilai tambah rendah dan maraknya TKA berkualifikasi kasar. Tentu ini akan mengecewakan kita. Ini tidak sesuai dengan harapan," tandasnya.
Untuk diketahui saat ini, sebanyak 80 persen dari produk yang dihasilkan industri smelter nasional adalah bahan setengah jadi feronikel yang berkadar rendah (NPI).
Hanya 20 persen hasilnya berupa stainless steel (SS). Bahan nikel murni untuk industri baterai belum ada.
Karenanya nilai tambah industri smelter ini hanya mencapai 3-4 kali dari bahan mentahnya. Tidak sebesar 19 kali sebagaimana yang dijanjikan pemerintah.