TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gejala alam selalu memberi tanda jika gunung berapi akan meletus.
Disampaikan Ahli Kebencanaan UPN Veteran Yogyakarta Eko Teguh Slamet, tanda yang diberikan alam salah satunya adalah hujan dengan intensitas tinggi atau hujan di hari yang sama.
Seperti diberitakan sebelumnya, Eko menjelaskan bahwa fenomena gunung Semeru meletus kemarin merupakan erupsi sekunder. Dia berkata, erupsi sekunder selalu terjadi di musim penghujan.
Dalam wawancara dengan Kompas TV, Minggu (5/12/2021) yang dikutip Kompas.com di artikel berjudul
Ahli Kebencanaan: Sebenarnya Alam Memberi Tanda Semeru Akan Meletus",
Baca juga: Program Early Warning Digagas Pemkot Padang Usai Maraknya Kasus Pencabulan Anak
Baca juga: Arie Untung Doakan Korban Erupsi Gunung Semeru Diberi Ketabahan
Eko mengatakan bahwa setiap gunung api memiliki kecenderungan yang berbeda ketika erupsi atau meletus.
"Kalau (Gunung) merapi (erupsi) berupa guguran kubah, kalau di semeru gugurannya kubah dan produk erupsi," ungkap Eko dalam wawancara dengan Kompas TV, Minggu (5/12/2021) pagi.
Seperti diketahui, Desember 2020 Gunung Semeru pernah erupsi dan di tahun ini Semeru meletus lagi.
Dia menjelaskan, dari erupsi yang pertama, material-material erupsi dapat berkumpul di puncak gunung karena hujan dan menyebabkan erupsi sekunder.
"Nah, gejala-gejala ini yang perlu dicermati kalau ada akumulasi kubah selama proses satu dua tahun sebelumnya dalam jumlah yang besar dan belakangan jumlahnya meningkat karena hujan deras, maka potensi erupsi bisa terjadi," jelas Eko.
"Seperti halnya yang terjadi pada Desember tahun lalu dan sekarang terjadi lagi, tapi dengan jumlah volume yang berbeda."
Dijelaskan Eko, tanda-tanda yang bisa dilihat adalah proses magmatisme, yakni perubahan di medan magma yang menginformasikan status gunung api ada di level normal, waspada, atau siaga.
"Sementara jika proses erupsi sekunder, gejalanya di guguran atau deformasinya," terang Eko.
Eko mengaku tidak tahu persis bagaimana gejala yang ditunjukkan guguran atau deformasi Gunung Semeru.
Namun dia berkata, meski tidak terlihat, sebenarnya alam sudah memberikan tanda-tanda.
"Seperti kalau gunung api sudah memiliki banyak material dan hujan intensif, maka itu sudah jadi warning dari alam sebenarnya," imbuh dia.
"Karena sebenarnya enggak ada erupsi saat musim kemarau untuk erupsi sekunder."
Dikatakan Eko, erupsi sekunder bisa disebabkan oleh hujan dengan intensitas tinggi pada hari-hari sebelumnya atau di hari saat meletus.
Tanpa Early Warning System
Sementara itu kondisi di Desa Curah Kobokan, Kecamatan Candipuro, Lumajang merupakan kawasan yang paling terdampak saat Gunung Semeru kembali erupsi, pada Sabtu (4/12/2021).
Setidaknya, sampai sekarang korban yang terdata mengalami luka bakar mencapai 38 orang. Bahkan ada seorang janda, Mak Um (50) tewas akibat terkena Awan Panas Guguran (APG) Semeru.
Rupanya, banyaknya korban berjatuhan karena kesiapan pemerintah mengantisipasi bencana alam masih sangat kurang.
Keberadaan Early Warning System (EWS) selama ini tidak ada di Desa Curah Kobokan.
Padahal alat itu penting untuk mendeteksi peringatan dini bencana.
"Alarm (EWS) gak ada, hanya sismometer di daerah Dusun Kamar A. Itu untuk memantau pergerakan air dari atas agar bisa disampaikan ke penambang di bawah," kata Joko Sambang, Kepala Bidang kedaruratan dan Rekonstruksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lumajang.
Disebutkan Joko, sebelum bencana itu menghantam alat seismoter itu membaca getaran kenaikan debit air mencapai 24 amak.
Sementara aktivitas vulkanik Gunung Semeru secara visual tidak terlihat. Sebab, ketika itu Gunung Semeru tertutup kabut tebal.
"Info detail yang saya dapat sebelum kejadian, Gunung Semeru tertutup kabut. Tapi dari kamera CCTV pos pantau (Gunung Sawur) terlihat kepulan namun tidak terekam getaran," ujarnya.
Minimnya, peringatan serta edukasi soal bahaya lava panas juga diduga menjadi penyebab korban selamatkan diri.
Ternyata saat APG mulai turun ke lereng gunung sebagaian warga malah menyaksikan fenomena itu di lokasi pertambangan.
"Waktu APG turun banyak yang lihat di sungai, mungkin mereka tidak membayangkan sebesar itu. Memang biasanya waktu banjir orang-orang lihat terus divideo," pungkasnya.
(Surya/Kompas.com)