TRIBUNNEWS.COM - Kasus meninggalnya mahasiswi NWR asal Mojokerto, Jawa Timur, yang meninggal di makam ayahnya mendapat sorotan dari publik.
Diketahui, di balik meninggalnya NWR, mahasiswi ini sempat alami kekerasan berulang oleh kekasihnya yang merupakan oknum polisi bernama Bripda RB.
Komnas Perempuan mengungkap fakta bahwa NWR sempat mengadu soal kekerasan yang ia alami pada Agustus 2021.
Baca juga: Pernyataan Komnas Perempuan Terkait Kasus Kekerasan Mahasiswi di Mojokerto, Desak RUU TPKS Disahkan
NWR merupakan korban kekerasan dalam hubungan pacaran secara berulang sejak tahun 2019.
Hal itu diungkapkan Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi.
"Dalam pengaduannya, ia menyampaikan belum lengkap tapi intinya ia mengalami kekerasan dalam pacaran," kata Ami dalam konferensi persnya yang disiarkan YouTube Kompas TV, Senin (6/12/2021).
Ami menjelaskan, kasus NWR ini merupakan satu kasus di antara ribuan aduan kekerasan yang diterima Komnas Perempuan selama 2021.
Baca juga: Kesaksian Penjaga Makam Lihat Mahasiswi NWR sebelum Bunuh Diri: Setiap Hari Datang ke Makam Ayah
Dikatakannya, laporan kekerasan yang diterima pihaknya melonjak dua kali lipat dari jumlah kasus saat pandemi Covid-19.
Di sisi lain, lanjut Ami, ada keterbatasan sumber daya di Komnas Perempuan.
"Kasus almarhum ini di Komnas perempuan itu adalah salah satu dari 4.500 kasus di tahun ini yang kami terima."
"Sampai bulan Oktober 2021, Komnas Perempuan menerima 4.500 kasus dan itu adalah 2 kali lipat kasus di 2020."
"Sementara sumber daya di Komnas perempuan sangat terbatas," lanjutnya.
Baca juga: Propam Awasi Penanganan Kasus Bripda Randy Soal Kasus Mahasiswi Tenggak Racun di Mojokerto
Lonjakan aduan kekerasan itu membuat Komnas Perempuan berusaha semaksimal mungkin agar kasus yang diterima dapat segera ditangani.
"Kami mencoba memperbaiki agar lebih emembenahi mekanisme pengaduan mulai dari verifikasi kasus, penacarian kemabaga rujukan, memastikan lembaga rujukan dan korban terhubung," jelas dia.
Kronologi Kekerasan yang Dialami NWR
Dalam pengaduannya, NWR membeberkan kronologi kekerasan yang ia alami kepada Komnas Perempuan sebelum meninggal.
Ami mengatakan, NWR menjadi korban tindakan kekerasan dalm bentuk ekploitasi seksual hingga pemaksaan aborsi oleh pacarnya.
Pemaksaan aborsi dilakukan pelaku dengan cara, salah satunya memaksa korban minum obat-obatan.
"Pelaku yang memiliki profesi sebagai polisi memaksa untuk menggugurkan kehamilan walaupun korban beberapa kali menolak menggugurkan kandungan."
"Pemaksaan aborsi ini dengan memaksa korban meminum obat obatan pil KB dan jamu-jamuan."
"Dan juga pada pemaksaan hubungan seksual karena beranggapan akan dapat menggugurkan janin," jelas Ami.
Peristiwa pemaksaan aborsi bahkan terjadi hingga dua kali.
Pada kali kedua bahkan korban sampai mengalami pendarahan, trombosit berkurang dan jatuh sakit.
NWR sempat meminta pelaku menikahinya, tetapi keinginan itu ditolak keluarga pelaku karena masih ada kakak perempuan pelaku yang belum menikah dan bahkan menuduh korban sengaja menjebak pelaku agar dinikahi.
Tak hanya itu, pelaku diketahui juga memiliki hubungan dengan perempuan lain.
Namun pelaku bersikeras tidak mau memutuskan relasinya dengan korban.
Kondisi tersebut membuat korban mengalami gangguan kejiwaan yang hebat.
Baca juga: Menteri PPPA Minta Polisi Usut Tuntas Kasus Kekerasan Seksual yang Menimpa Mahasiswi di Malang
Korban merasa tidak berdaya, dicampakkan, disia-siakan, dan berkeinginan menyakiti diri sendiri.
"Berdasarkan konsultasi dan pengobatan ke psikolog dan psikiater, korban didiagnosis OCD (obsessive compulsive disorder) dan ganguan psikosomatik lainnya," tutur Ami.
Di bulan November, Komnas Perempuan berhasil menghubungi si NWR.
Dari komunikasi tersebut, NWR meminta untuk mendapatkan bimbingan konseling psikologi dan ingin dimediasikan kepada pelaku dan orang tuanya.
Baca juga: Bisakah Bripda Randy Dijerat Pasal Perkosaan Terkait Mahasiswi Tewas Bunuh Diri di Mojokerto?
Untuk itu, pada 18 November, Komnas Perempuan pun mengeluarkan surat rujukan bagi korban untuk mendapat pelayanan dari P2TP2A Mojokerto.
Karena kapasitas psikolog yang terbatas dan jumlah klien yang banyak maka penjangkauan tidak dapat dilakukan sekerap yang dibutuhkan.
Di sisi lain, juga sudah dilakukan dan dijadwalkan konseling kembali di awal Desember.
"P2TP2A Mojokerto melakukan konseling untuk 2 sesi di bulan November. Sampai kemudian dilakukan sesi berikutnya, korban sudah meninggal," tandasnya.
(Tribunnews.com/Shella Latifa)