Dengan sumber daya yang sangat terbatas, Komnas Perempuan berpacu untuk membenahi sistem untuk penyikapan pengaduan, mulai dari verifikasi kasus, pencarian lembaga rujukan dan pemberian rekomendasi.
“Namun, lonjakan kasusnya sendiri mengakibatkan antrian kasus yang panjang, sehingga keterlambatan penyikapan merupakan kekuatiran yang terus kami pikul,” ujarnya.
Komnas Perempuan menyatakan pada tengah tahun 2021 semakin banyak lembaga layanan yang menyatakan diri kewalahan menerima rujukan sementara kasus-kasus pengaduan langsung membanjiri mereka, yang juga bekerja dengan sumber daya yang terbatas.
Terlebih, masa pandemi mempengaruhi daya lembaga layanan sehingga tidak mampu melakukan layanan seperti yang diharapkan.
Baca juga: Menteri PPPA Minta Polisi Usut Tuntas Kasus Kekerasan Seksual yang Menimpa Mahasiswi di Malang
Sementara itu, kajian kebijakan daerah tentang layanan terpadu bagi perempuan korban kekerasan (Komnas Perempuan, 2020) memperlihatkan bahwa hanya 30% kebijakan daerah yang memandatkan adanya sistem pemulihan.
Di banyak daerah, keberadaan dan dukungan bagi konselor psikolog adalah hal yang mewah, seperti juga visum gratis dan rumah aman.
“Kasus NWR adalah akibat yang sangat memilukan dari situasi ini. Kematian NWR merupakan duka dan pukulan bagi keluarga korban, semua perempuan korban kekerasan, dan banyak dari kita, juga bagi Komnas Perempuan dan lembaga-lembaga pendamping. Keterlambatan dalam membantu NWR adalah pelajaran sangat berharga bagi kita semua,” tulis pernyataan itu.
“Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyampaikan duka yang mendalam atas meninggalnya NWR, korban kekerasan seksual di Mojokerto yang mengakhiri hidupnya. Kasus ini sungguh memilukan dan menjadi kesedihan bagi keluarga korban dan kita semua,” lanjut dalam pernyataan.