Namun, kebiri dilakukan dengan cara menyuntikkan zat kimia yang membuat pelaku kehilangan rasa nafsu dan hasrat seksualnya.
"Kebiri di Indonesia itu memberikan zat kimia ke dalam tubuh seseorang yang terbukti tindak pidana kekerasan seksual pada anak."
"Diberi zat kimia, hasratnya nafsunya seakan-akan sudah tidak ada," kata Managing Partner Taufiq Nugroho and Partners itu.
Baca juga: Sederet Desakan Berbagai Pihak Minta Herry Wirawan Dihukum Kebiri Imbas Rudapaksa 12 Santri
Selain itu, kebiri kimia ini hanya dilakukan dalam jangka waktu maksimal 2 tahun saja sejak putusan ditetapkan.
Sehingga, jika dalam 2 tahun setelah itu tidak dilakukan kembali dilakukan kebiri kimia, hasrat seksual pelaku bisa saja kembali.
"Tetap dimungkinkan untuk reproduksi lagi, dalam PP Nomor 70 tahun 2020, aturan pelaksanaan kebiri hanya diberikan maksimal 2 tahun."
"Sangat mungkin saat obat enggak disuntikkan lagi, itu kembali normal," tutur dua.
Baca juga: Selain Pidana, KPAI Desak Guru Pesantren yang Rudapaksa 12 Santri Diberi Hukuman Kebiri
Namun, kata Taufiq, kebiri kimia tetap memberikan efek negatif pada pelaku.
"Bisa jadi disfungsi ereksi, kemudian impoten. Tapi kondisi setiap orang itu berbeda."
"Menurut saya sangat mungkin ketika sudah tidak disuntikkan lagi, orang itu akan kembali lagi hasratnya," ucap dia.
Untuk itu, selain hukuman kebiri, Taufiq menilai pelaku kekerasan seksual perlu juga ditindak secara pidana.
Baca juga: Menteri PPPA Minta Agar Herry Wirawan Dihukum Kebiri: Masyarakat Akan Puas
Dikatakannya, dalam UU Perlindungan Anak, pelaku kekerasan seksual terhadap anak bisa dijerat hukuman penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun.
Hukuman kebiri dan pidana penjara bisa dijatuhkan pada pelaku.
"Maka kami mendorong tidak hanya kebiri, tapi pidana penjara secara maksimal."
"Kalau hukuman dikebiri saja, kebiri hanya diberikan 2 tahun di UU kita, dokter tidak akan berani melebihi itu karena melanggar UU," katanya.
(Tribunnews.com/Shella Latifa)
Baca berita soal kekerasan seksual pada anak