TRIBUNNEWS.COM - Seorang aktivitis tanah air, Soe Hok Gie, meninggal dunia 52 tahun lalu atau tepatnya pada 16 Desember 1969.
Soe Hok Gie adalah pemuda keturunan Tionghoa-Indonesia yang lahir pada 17 Desember 1942 di Jakarta.
Ayahnya bernama Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan.
Dalam buku Catatan Seorang Demonstran (1983), disebutkan Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara di keluarganya.
Seorang saudara kandungnya yaitu, Arief Budiman (kakak), seorang sosiolog dan dosen di Universitas Kristen Satya Wacana, yang juga cukup kritis dan vokal dalam politik Indonesia.
Pada 16 Desember 1969, Soe Hok Gie meninggal di kawah Gunung Semeru bersama seorang temannya bernama Idhan Lubis karena menghirup gas beracun.
Baca juga: Profil Herman Lantang, Tokoh Pendiri Mapala UI dan Sahabat Soe Hok Gie
Baca juga: Sejarah Ranu Kumbolo, Danau Air Tawar yang Terletak di Gunung Semeru
Kematian Soe Hok Gie tepat satu hari sebelum hari ulang tahunnya pada 17 Desember 1969.
Semasa hidupnya, Soe Hok Gie rajin menulis catatan sejak tahun 1957.
Catatannya berakhir pada 8 Desember 1969, yaitu seminggu sebelum ia meninggal dan sembilan hari sebelum ulangtahunnya yang ke-27.
Sebelumnya, Soe berencana merayakan ulangtahunnya yang ke-27 di Gunung Semeru.
Kronologi Tragedi Kematian Soe Hok Gie
Dikutip dari laman ASTACALA, Universitas Telkom, pendakian dilakukan saat sore hari dengan gerimis dan kabut tebal.
Pada Desember 1969, Soe Hok Gie bersama teman-temannya mendaki gunung Semeru, gunung tertinggi di pulau Jawa.
Kelompok pendakian tersebut adalah Soe Hok Gie, Rudy Badil, Idhan Lubis, Aristides (Tides) Katoppo, Wiwiek A. Wiyana, A. Rachman (Maman), Herman O. Lantang dan almarhum Freddy Lasut.
"Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian," tulisnya kala itu dalam buku catatannya.
Saat di puncak, teman Soe yang bernama Rudy terpaksa turun bersama Maman karena fisik mereka tidak kuat.
Rudy dan Maman menuruni Gunung Semeru sambil menutup hidung karena bau belerang sangat menusuk paru-paru.
Saat itu, Soe Hok Gie sedang duduk dengan kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering.
Selain Rudy dan Maman, Tides dan Wiwiek telah turun terlebih dahulu.
Saat hendak menuruni Gunung Semeru, Rudy dan Maman juga berpapasan dengan Herman dan Idhan.
Total orang yang masih berada di puncak adalah Soe Hok Gie, Freddy, Herman, dan Idhan.
Baca juga: Gerwani dan Stigma Negatif Organisasi Perempuan Indonesia, Sering Dihubungkan dengan G30S 1965
Mereka yang sudah sampai di tenda, menunggu Soe, Herman, Freddy, dan Idhan.
Namun, saat itu hanya Freddy yang tiba di tenda perkemahan.
Freddy mengabarkan Soe dan Idhan kecelakaan, namun tidak menjelaskan secara detail keadaan mereka.
Tak lama kemudian, Herman juga turun.
Dia melapor pada teman-temannya jika Soe dan Idhan sudah tak sadarkan diri.
Tides mengatur penyelamatan. Ia turun gunung bersama Wiwiek menuju tepian (danau) Ranu Pane.
Sedangkan teman-teman yang masih berada di tenda menjaga Maman yang syok karena panik dan tergelincir ke jurang kecil.
Keesokan harinya, pada 17 Desember 1969, teman-teman yang tersisa memeriksa puncak Gunung Semeru.
Mengetahui Soe dan Idhan sudah tiada, mereka terpaksa menunggu bantuan dari Tides yang sebelumnya turun gunung.
Mereka yang tersisa di perkemahan terpaksa tidak makan selama tiga hari dan menunggu surat dari Tides, yang menanyakan keadaan Soe dan Idhan.
Rudy akhirnya turun gunung untuk mengantar surat balasan pada Tides.
Pada 22 Desember 1969, seluruh rombongan berkumpul di Malang, bersama jenazah Soe dan Idhan.
Sementara itu, Maman dirawat di RS Claket.
Baca juga: BREAKING NEWS: Kakak Soe Hok Gie, Sosiolog Arief Budiman Meninggal Dunia, Dimakamkan di Salatiga
Soe Hok Gie Sang Demonstran
Sebagai mahasiswa yang kritis, Soe Hok Gie merasa mereka membutuhkan wadah organisasi, maka ia mencetuskan terbentuknya komunitas Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) UI.
Menurut sejarah dari laman MAPALA UI, ide pembentukan organisasi pelopor pecinta alam di kampus ini dicetuskan oleh Soe Hok Gie (M-007-UI), seorang aktivis mahasiswa terkemuka.
Ia jenuh dengan situasi yang penuh intrik dan konflik politik di kalangan mahasiswa waktu itu.
Hok Gie mengusulkan untuk membentuk suatu organisasi yang bisa menjadi wadah berkumpulnya berbagai kelompok mahasiswa.
Kematian Soe Hok Gie tidak lepas dari kegiatannya bersama teman-temannya yang tergabung dalam MAPALA.
Dalam buku Catatan Seorang Demonstran (1983), sejak mengenyam bangku kuliah, Soe Hok Gie aktif dalam kegiatan sosial mahasiswa, khususnya sebagai demonstran dan mahasiswa pecinta alam.
Soe Hok Gie menempuh pendidikan di Universitas Indonesia dari Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah.
Ia masuk perkuliahan pada 1960 dan berhasil menyelesaikan studinya dengan gelar Sarjana Sastra.
Namanya dikenal publik karena ia aktif menyuarakan kritik pada masa pemerintahan Presiden Ir. Soekarno dan Presiden Soeharto.
Peranana Soe Hok Gie dalam usaha menegakkan Orde Baru yang dipimpin Jenderal Soeharto dilakukan dengan memberikan kritik pedas terhadap segala sesuatu yang menurut anggapannya tidak dapat dibenarkan.
Sebagai seorang aktivis, Soe Hok Gie tetap membela kepentingan rakyat.
Sayangnya, Soe Hok Gie mengembuskan napas terakhir pada usianya yang masih muda, yaitu 26 tahun.
Kematian Soe Hok Gie menimbulkan duka mendalam dalam dunia demonstran tanah air.
Soe Hok Gie meninggal setelah menghirup gas beracun ketika pendakian ke Gunung Semeru, di Lumajang, Jawa Timur.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Artikel lain terkait Soe Hok Gie